Kamis, 26 Juli 2018

Klasifikasi Hadits - MS2F

Klasifikasi Hadits - MS2F

KLASIFIKASI HADITS
oleh Mahlail Syakur Sf.


Hadits sebagai telah dijelaskan pada bab sebelumnya adalah sumber ajaran Islam, hakikatnya merupakan pendamping bagi al-Qur`ân dengan berbagai fungsinya. Tentu saja dengan posisinya yang demikian menjadikan dirinya tidak memliki status hukum yang sama dengan al-Qur`ân. Jika status hukum bagi al-Qur`ân secara fungsional adalah pasti atau keniscayaan (qath’iyyah al-wurud , قطعيّة الورود), maka status al-Hadits adalah dhanniyyah al-wurud (ظنّيّة الورود), yakni posisi yang masih membutuhkan pertimbangan apakah hadits tersebut telah memenuhi kwalifikasi sebagai hadits mutawatir, shahih, atau belum. Secara umum hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria, yakni atas bermulanya ujung sanad, keutuhan mata rantai sanad, jumlah penutur (periwayat), dan tingkat keaslian hadits (segi dapat diterima atau tidaknya hadits).
Pembahasan pada bab ini difokuskan pada klasifikasi hadits berdasarkan sanad yang mengantarkannya. Untuk me-ngetahui dan menentukan status hadits sekaligus kategorisasi-nya seseorang dapat melakukan identifikasi terhadap sanadnya. Hadits dalam konteks ini dapat dikaji dari dua aspek, yaitu aspek jumlah (kwantitas) sanad dan aspek kwalitasnya sehingga diperoleh pengetahuan tentang status hadits, apakah sebuah hadits dapat diterima sebagai acuan dalam pengambilan keputusan hukum, atau tidak. Kecuali itu pada bab ini akan disajikan pula klasifikasi hadits dari segi lain, yakni apakah ia dapat diterima (maqbul) sebagai dasar pelaksanaan ajaran agama atau harus ditolak (mardud). Segi ini dinamakan dengan terma hadits maqbul dan hadits mardud. Insya Allâh.

A. BERDASARKAN KWANTITAS SANAD
Hadits ditinjau dari segi jumlah perawi yang terdapat dalam sanadnya dapat diklasifikasikan atas dua kategori, yaitu Hadits Mutawatir dan Hadists Ahad.
1. Hadits Mutawatir
Kata Muatawatir pada dasarnya berarti berurutan, berkesinambungan, kontinyu (tatabu’ = تتابع) seperti yang terdapat dalam ungkapan تواتر المطر , maka artinya adalah تتابع نزوله (hujan turun secara kontinyu). Lalu apakah yang dimaksud dengan hadits mutawatir?
Banyak batasan yang diajukan oleh para ahli hadits (muhadditsn) tentang pengertian hadits mutawatir. Namun demikian dapat dipahami bahwa hadits mutawatir (الحديث المتواتر) adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi dalam setiap generasi sanad, mulai awal (shahabat nabi) hingga akhir (perawi, penulis hadits). Ajaj Al-Khathib telah menawarkan definisi tentang hadits mutawatir sebagai berikut:
والخبر المتواتر: ما بلغت رواته في الكثرة مبلغاً أحالت العادة تواطأهم على الكذب، ويدوم هذا فيكون أوله كآخره، ووسطه كطرفيه، كالقرآن، وكالصلوات الخمس.[1]
(Hadits Mutawatir adalah hadits yang oleh para perawinya disampaikan dalam jumlah yang banyak, yang menurut adatnya jumlah tersebut tidak mungkin terjadi kesepakatan untuk berdusta atau pembohongan, antar sesama, dan keadaan ini berlangsung sejak garis sanad pertama hingga garis sanad terakhir, bagian tengahnya seperti bagian akhir, seperti (riwayat tentang) al-Qur`ân dan shalat lima waktu)

Sebagian ahli hadits lainnya juga telah mendefinisikannya dengan ungkapan yang lebih jelas dan lugas, namun mirip definisi al-Khathib di atas, yaitu sebagai berikut:
الحديث المتواتر ما يرويه قوم لا يحصى عددهم ولايتوهّم تواطؤهم على الكذب ويدوم هذا الحدّ فيكون أوله كاخره واخره كأوله ووسطه كطرفيه [2]
(Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak terhitung jumlahnya dan komunitas mereka tidak dimungkinkan atas kedustaan, dan kriteria yang demikian berlangsung terus hingga kondisi generasi awal sama dengan kondisi generasi akhirnya, generasi akhirnya sama dengan generasi awalnya, dan generasi tengahnya sama dengan generasi pinggirnya)
atau dapat dipahami dengan definisi berikut ini.
الحديث المتواتر ما رواه جمع تحيل العادة تواطؤهم على الكذب عن مثلهم من أول السند إلى منتهاه …
(Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang secara adat tidak mungkin terjadi kesepakatan untuk berdusta antar sesama, sejak garis sanad pertama hingga garis sanad terakhir …) 

Dengan memperhatikan beberapa ta’rif tersebut telah jelas bagi kita bahwa Hadits Mutawatir adalah bentuk hadits yang bisa dipertanggungjawabkan keadaannya dari sistem periwayatan karena pada setiap generasi (thabaqat) sanadnya terdapat sejumlah perawi yang tidak mungkin di antara mereka berdusta atau penyelewengan terhadap hadits. Para ahli berbeda pendapat mengenai jumlah minimal para perawi dalam masing-masing level sanad yang meriwatkan hadits mutawatir. Sebagian menetapkan 20 rawi, sebagian lagi menetapkan 40 orang pada setiap generasi sanad.
Para ‘ulama telah sepakat bahwa hadits yang diriwayat-kan secara mutawatir telah dapat meyakinkan penerimanya bahwa haditsnya adalah benar-benar datang dari sumbernya, Rasul Allâh saw. Itulah yang disebut sebagai Qath’iyyah al-Wurud (قطعية الورود). Hadits yang demikian inilah yang memiliki derajat tertinggi dalam proses periwayatan hingga mampu meyakinkan penerimanya. Hadits ini setingkat dalam status dengan al-Qur`ân dari aspek periwayatan, yakni sama-sama secara mutawatir. Namun tetap berada pada urutan kedua setelah al-Qur`ân karena statusnya secara fungsional. Maka para ‘ulama sepakat untuk melaksanakan pesannya; maksudnya adalah jika hadits berisi perintah (amr, أمر) maka harus dikerjakan, dan jika berisi larangan (nahy , نهي) maka ummat Islam harus meninggalkan apa yang dipesankan di dalamnya. Mereka dalam konteks ini memberikan sifat terhadap hadits mutawatir dengan ungkapan Yajibu al-‘amal bihi (يجب العمل به).

a. Klasifikasi Mutawatir
Ditinjau dari segi sifatnya hadits mutawatir dibedakan lagi menjadi dua jenis, yaitu Hadits Mutawatir Lafdhi dan Hadits Mutawatir Ma’nawi sebagai keterangan berikut ini.
1) Mutawatir Lafdhi
Hadits Mutawatir Lafdhi (الحديث المتواتر اللفظيّ) adalah hadits yang secara redaksional adalah mutawatir seperti hadits berikut:
حدثنا علي بن عبد العزيز ، قال : حدثنا خلف بن هشام ، ح وحدثنا محمد بن عبد الله الحضرمي ، قال : حدثنا محمد بن عبيد بن حساب ، قالا : حدثنا أبو عوانة ، عن أبي حصين ، عن أبي صالح عن أبي هريرة غن النبيّ صلى الله عليه وسلم قال: تسمَّوا باسمي ولا تكتنَنوا بكنيتي ومن رآني في المنام فقد رآني فإن الشيطان لايتمثل في صورتي ومن كذب عليّ متعمدا فليتبوأ مقعده من النار (رواه البخاري)[3]
(…. Riwayat Abu Hurairah ra., nabi saw. bersabda: “Bernamakanlah dirimu dengan namaku dan jangan pakai nama kuniahku. Barangsiapa melihatku dalam mimpi berarti ia (benar-benar) melihatku karena setan tidak mampu meniru bentukku. Barangsiapa mendustakan aku dengan senagaja, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka”)
Hadits tersebut menurut informasi yang kuat diriwayatkan oleh sekitar 200 perawi. Menurut keterangan lain, hadits tersebut mungkin diriwayatkan oleh 40 orang shahabi, mungkin juga oleh 62 orang termasuk 10 orang Shahabat yang dijamin masuk surga,[4] Demikian pula hadits tentang –misalnya-- menyapu Khuffain (mash al-khuffayn, مسح الخفّين) yang diriwayatkan oleh sekitar 70 perawi, dan hadits tentang mengangkat kedua tangan (ketika takbir) dalam shalat yang diriwayatkan oleh sekitar 50 perawi.[5]

2) Mutawatir Ma’nawi
Hadits Mutawatir Ma’nawi (الحديث المتواتر المعنويّ) adalah hadits yang isinya diriwayatkan secara mutawatir dengan bentuk matan yang berbeda-beda. Umumnya hadits mutawatir dalam jenis ini berupa riwayat tentang perilaku nabi terhadap lingkungan, cara nabi saw. mengangkat kedua tangan dalam berdu’a, dan sebagainya.

b. Kriteria Hadits Mutawatir
Sebuah riwayat dikatakan sebagai mutawatir jika telah memenuhi empat kriteria, yaitu:
1) mempunyai jumlah perawi yang banyak;[6]
2) secara umum tidak mungkin terjadi kesepakatan berdusta di antara para perawi;
3) para perawi meriwayatkan hal yang sama dari garis sanad pertama hingga terakhir;
4) hadits yang disampaikan merupakan proses kesaksian dan pendengaran.[7]

Menurut al-Nawawi dalam dalam Syarh Muslim, hadits mutawatir harus merupakan riwayat orang-orang muslim. Riwayat dari orang kafir harus ditolak, kecuali ia telah masuk Islam. Selanjutnya dengan tegas beliau menyatakan:
ولا تقبل رواية كافر وإن عرف بالصدق لعلو منصب الرواية عن الكفار[8]
(Riwayat (dari) orang kafir tidak boleh diterima, meskipun ia diketahui kejujurannya, karena tingginya ring periwayatan melalui orang-orang kafir)

2. Hadits Ahad
Secara harfiah kata âhâd (آحاد) merupakan bentuk jamak dari kata ahad (أحد) yang berarti yang satu, tunggal. Jika dikatakan khabar wahid maka maksudnya adalah khabar atau hadits yang diriwayatkan oleh seorang pribadi (sendiri). Jadi, Hadits Ahad (الحديث الآحاد) adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang atau dua orang saja, atau bahkan oleh sedikit orang, atau seorang saja, dan selanjutnya masing-masing perawi menyampaikan haditsnya kepada seorang, atau dua orang saja. Jumlah perawi yang demikian dalam setiap tahap tidak menjadikan haditsnya terkenal sebagaimana jenis lainnya. Pengertian tentang hadits ahad secara umum dapat diketahui dari definisi sebagai berikut:
الحديث الآحاد هو مالم يجمع شروط المتواتر [9]
(Hadits Ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir)

Hadits Ahad pada umumnya dapat ditemukan dalam kitab-kitab sufistik seperti Ihya` ‘Ulum ad-Din karya al-Ghazali, dan Ta’lim al-Muta’allim karya al-Zarnuji. Kiranya syarat untuk menerima Hadits Ahad tidak cukup bagi kita dengan hanya menggunakan kecerdasan intelektual tetapi juga kecerdasan emosional, bukan saja dengan rasio tetapi juga rasa.
Secara aksiologis, Hadits Ahad bisa diterima dan bisa ditolak adalah tergantung pada kwalitas perawinya dan atau ketersambungan sanadnya, bukan karena jumlah sanad pada setiap generasi. Maka status hadits ini dalam ilmu pengetahuan dikatakan sebagai Dhanniyyah al-Wurud (ظنّيّة الورود) atau sebagai ilmu al-dhan (علم الظنّ), bukan sebagai ilmu al-yaqin (علم اليقين). Meskipun demikian hadits ini tetap bisa dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan ajaran Islam manakala merupakan dhan yang rajih (ظنّ راجح), persangkaan yang kuat, begitu pula sebaliknya. Hadits ini dengan demikian tetap wajib diamalkan isinya jika diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya, kredible (tsiqah , ثقة) dan adil.[10]
Oleh karena itu Hadits Ahad tidak digunakan sebagai hujjah dalam hal I’tiqad, keyakinan. Al-Imam Ahmad ra. mempergunakan Hadits Ahad tidak hanya dalam hal ‘amal, tetapi juga hal i'tiqad.[11] Beliau mengimani segala yang diterangkan oleh hadits tanpa memilih dan memilah sebagaimana beliau mengimani segala bentuk keterangan yang ada dalam al-Qur`ân.

a. Klasifikasi Ahad
Hadits Ahad dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu Hadits Masyhur dan Hadits ‘Aziz. Namun demikian menurut madzhab Hanafi, Hadits Masyhur berdiri sendiri, hingga jumlah jenis hadits secara garis besar berdasarkan jumlah sanadnya adalah tiga macam, yaitu Mutawatir, Ahad, dan Masyhur. Baiklah, kita dalam hal ini tidak memperdebatkan jumlah klasifikasi tersebut, tetapi yang lebih penting bagi kita adalah membahas ketiga-tiganya tanpa mengkotak-kotak. Dan pembagian hadits dalam pembahasan ini hanyalah mengikuti persepsi masyarakat pada umumnya.
1) Hadits Masyhur
Secara harfiah kata masyhur berarti terkenal, tersohor. Hadits Masyhur (الحديث المشهور) adalah hadits yang mempunyai dua jalur atau lebih yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap tingkat sanadnya di masing-masing jalur, dan tidak melebihi jumlah sanad untuk periwayatan hadits mutawatir.[12] Hadits Masyhur merupakan jenis Hadits Ahad yang tertinggi derajatnya, kemudian disusul dengan hadits ‘aziz dan hadits gharib.


Klasifikasi Hadits Masyhur
Ditinjau dari segi popularitas hadits masyhur dibedakan menjadi enam kategori, yaitu:
a) Hadits yang masyhur di kalangan para Ahli Hadits (ahl al-hadits, أهل الحديث) secara khusus, yaitu seperti hadits berikut ini yang diriwayatkan melalui salah satu jalur sanad sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا [13]
(…. Sesungguhnya Allâh tidak mengambil ilmu dengan secara langsung dari para hamba, tetapi Dia mengambil ilmu dengan cara mengambil ‘ulama, sehingga jika Dia tidak menyisakan seorang yang berilmu niscaya manusia mengambil pemimpin-pemimpin yang bodoh, sehingga mereka ditanya lalu memberikan fatwa tanpa ilmu. Mereka tersesat dan menyesatkan)

Atau seperti hadits melalui jalur Anas ra. berikut ini:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا بَهْزُ بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ أَخْبَرَنَا أَنَسُ بْنُ سِيرِينَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ يَدْعُو عَلَى بَنِي عُصَيَّةَ [14]
(…. Sesungguhnya Rasul Allâh saw. berdo’a qunut selama sebulan setelah ruku’ pada shalat fajar (Shubuh), berdo’a untuk Bani ‘Ushayyah)

b) Hadits yang masyhur di kalangan ahli hadits sendiri dan kalangan lainnya (‘Ulama dan ‘awam), seperti hadits:
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ وَإِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْه [15]
(…. Seorang muslim adalah adalah orang yang berkat lisannya dan tangannya orang-orang Islam (lainnya) merasa selamat, dan seorang muhajir adalah orang yang hijrah dari apa yang telah dilarang oleh Allâh).

c) Hadits yang masyhur di kalangan para Ahli Fiqh (al-Fuqaha`, الفقهاء), seperti hadits:
حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ مُعَرِّفِ بْنِ وَاصِلٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَبْغَضُ الْحَلالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلاقُ [16]
(…. Sesuatu yang halal yang paling dibenci oleh Allâh adalah thalaq)

d) Hadits yang masyhur di kalangan para Ahli Ushul (al-Ushuliyyun, الأصوليّون), misalnya hadits:
رفع عن أمتى الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه [17]
(Kesalahan, lupa, dan apa yang dibenci telah dihilangkan dari umatku)

e) Hadits yang masyhur di kalangan para Ahli Nahwu (al-Nuhah, النحاة), seperti hadits:
عن عمرقال: نِعمَ العبدُ صُهَيبٌ لَولمَ يَخَفِ اللهَ لَمْ يَعصِه [18]
(…. Sebaik-baik seorang hamba adalah Shuhaib. Seandainya ia tidak merasa khawatir kepada Allâh niscaya tidak akan durhaka kepada-Nya)

Hakekat hadits tersebut tidak berasal (tidak jelas) sumbernya, tetapi sangat terkenal di lingkungan para Ahli Nahwu, terutama dalam mencontohkan sebuah ungkapan yang menggunakan kata ni’ma (نعم) dan kata law (لو).

f) Hadits masyhur yang terkenal di kalangan masyarakat umum, yaitu seperti hadits dari jalur Sahl ibn Sa’d ra. berikut ini:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : اَلْعَجَلَةُ مِنَ اَلشَّيْطَانِ (أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَسَنٌ) [19]
(…. Ketergesa-gesaan adalah bagian (dari prilaku) setan). Hadits Riwayat al-Tirmidzi. Katanya: (hadits ini) Hasan.

2) Hadits Aziz
Kata ‘Aziz berarti yang mulia, utama, kuat, dan sangat. Hadits ‘Aziz (الحديث العزيز) adalah hadits yang mempunyai dua jalur sanad, yang masing-masing terdiri atas dua orang rawi pada setiap level sanadnya. Atau dengan kata lain, hadits ‘aziz adalah hadits yang mempunyai dua sistem sanad (isnadan, إسنادان). Demikian ini menurut ibn Hajar.[20] Hadits ini merupakan Hadits Ahad setingkat di bawah derajat Hadits Masyhur dan di atas Hadits Gharib. Contohnya adalah hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ [21]
(…. Tidaklah (sempurna) seseorang di antara kamu beriman hingga aku lebih dicintai daripada orangtuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya)
Hadits tersebut diketahui diriwayatkan oleh Qatadah dan ‘Abdul ‘Aziz ibn Shuhaib melalui jalur Anas ra.. Di sisi lain Syu’bah dan Sa’id juga meriwayatkannya dari Qatadah ra., begitu pula Isma’il ibn ‘Ulayyah dan ‘Abdul Warits meriwayatkannya dari ‘Abdul ‘Aziz, dan dari masing-masing mereka suatu kelompok meriwayatkannya.
Secara rinci sistem isnad hadits tersebut memiliki dua riwayat atau lebih yang tepat dapat digambarkan sebagai berikut:
· Dari Anas hadits diriwayatkan oleh al-Bukhari ra. dan Muslim ra.;
· Dari Anas ra. hadits juga diriwayatkan oleh Qatadah ra. dan ‘Abdul ‘Aziz ibn Shuhaib ra.;
· Dari Qatadah ra. hadits diriwayatkan oleh Syu’bah ra. dan Sa’id ra.;
· Dari ‘Abdul ‘Aziz ibn Shuhaib ra. hadits diriwayatkan oleh Isma’il ibn ‘Ulayyah ra. dan ‘Abdul Warits ra.;
· Dari masing-masing mereka hadits diriwayatkan oleh suatu jama’ah.

3) Hadits Gharib
Gharib berarti asing, lawan dari kata masyhur. Maka Hadits Gharib (الحديث الغريب) adalah hadits yang memiliki dua jalur atau lebih yang diriwayatkan oleh seorang rawi pada salah satu jalur riwayat, meskipun pada tingkat sanad lainnya terdapat banyak rawi.[22]Inilah jenis Hadits Ahad yang terendah derajatnya. Contohnya adalah hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ [23]
(…. Sesungguhnya segala tindakan itu berdasarkan niat. Dan sesungguhnya masing-masing orang memiliki apa yang telah menjadi niatnya. Barangsiapa hijrahnya bermotif (kebahagiaan) dunia, atau bermotif wanita untuk dinikahinya, niscaya akan mendapati apa yang menjadi niat dalam hijrahnya)

Hadits tersebut diriwayatkan melalui Shahabat ‘Umar ibn al-Khathab ra. seorang diri lalu darinya diriwayatkan haditsnya oleh banyak perawi. Itulah gharib.
Atau bisa jadi hadits gharib adalah hadits yang sanadnya pada level awal terdiri banyak perawi lalu dari mereka haditsnya diriwayatkan oleh perawi seorang diri, seperti hadits berikut ini:
حدثنا محمد بن أبي عمر قال : ثنا معن بن عيسى ، عن مالك بن أنس، عن الزهري ، عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال : إن رسول الله صلى الله عليه وسلم دخل مكة وعلى رأسه المغفر [24]
(…. Sesungguhnya Rasul Allâh memasuki Makkah sementara di atas kepalanya terdapat mighfar)
Mighfar adalah seutas kain yang diikatkan di kepala sebagai dasar surban. Hadits tersebut mula-mula diriwayatkan oleh banyak shahabat, lalu diteruskan oleh orang perorang hingga disebut sebagai hadits gharib.

b. Sifat Hadits Ahad
Ditinjau dari segi sifatntnya sekaligus merupakan tingkatan keabsahannya, bagaimana pun statusnya, maka Hadits Ahad memiliki tiga sifat, yaitu:
1) Shahih
2) Hasan
3) Dla’if.

Uraian tentang ketiga jenis hadits tersebut akan disajikan dalam pembahasan hadits dari aspek kwalitas sanad berikut ini. Namun dalam bab ini perlu diketahui pula bahwa Hadits Ahad mempunyai sisi kekuatan dan kelemahan. Dilihat dari segi ini Hadits Ahad dikategorikan menjadi dua, maqbul dan mardud.
Hadits Ahad yang maqbul (diterima) adalah hadits yang mukhbirnya dapat diandalkan kejujurannya. Hadits ini berhak wajib dijadikan hujjah dan diamalkan. Sedangkan Hadits Ahad yang mardud (ditolak) adalah hadits yang mukhbirnya tidak dapat diandalkan kejujurannya. Hadits yang demikian tidak boleh dijadikan hujjah dan tidak wajib diamalkan.


B. BERDASARKAN KWALITAS SANAD
Klasifikasi hadits sebagaimana uraian di atas belum sepenuhnya menunjukkan apakah haditsnya bisa diterima atau ditolak, tetapi baru terbatas pada kategorisasi awal. Jenis-jenis hadits yang dimaksud di atas akan diterima atau ditolak tergantung pada keadaan sanad dan sifat para rijalnya, bukan karena banyak atau sedikitnya jumlah orang yang berada pada tataran sanad. Dengan kata lain, kwalitas hadits sangat ditentukan oleh kwalitas sanadnya, bukan kwantitasnya.
Ditinjau dari segi kwalitas sanadnya hadits dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dla’if. Ketiga jenis tersebut mungkin sekali berasal dari Hadits Ahad, karena di samping ia masih berstatus dhanni, juga bisa dari jenis lainnya, yaitu Hadits Mutawatir yang telah disepakati oleh para muhadditsun untuk dapat diterima sebagai hujjah secara qath’i . hadits-hadits dalam jenis-jenis tersebut akan dijelaskan pada bab-bab tersendiri, maka dalam bab ini hanya diperkenalkan secara singkat sebagai pengantar.


1. Hadits Shahih
Kata shahih (صحيح) berasal dari kata shahha (صحّ) dan shihhah (صحّة) yang berarti sehat, tidak cacat, lawan kata dari sakit (saqim, سقيم). Dari segi terminologi, Hadits Shahih akan dijelaskan dalam bab tersendiri bersama hadits dla’if dan hadits maudlu’, insya Allâh. Namun sebagai pengenalan awal akan disampaikan secara singkat mengenai Hadits Shahih (الحديث الصحيح) dalam bab ini dengan definisi sebagai berikut:
الحديث الصحيح ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله وسلم من شذوذ وعلّة
(Hadits Shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung proses periwayatan oleh orang yang adil, dan kuat daya ingatnya dari orang yang serupa sifatnya, serta terbebas dari keganjilan dan cacat)


2. Hadits Hasan
Secara harfiah kata hasan berarti bagus. Maka Hadits Hasan (الحديث الحسن) secara istilah didefinisikan sebagai berikut:
الحديث الحسن ما اتصل سنده يرويه غير كامل الثقة
(Hadits Hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang kurang sempurna kredilitasnya)
Definisi tersebut menunjukkan bahwa Hadits Hasan merupakan hadits yang berada pada titik tengah antara Hadits Shahih dan Hadits Dla’if. Status penggunaannya seperti Hadits Shahih meskipun tidak sekuat dia.
Mengingat bab ini hanya mengedepankan klasifikasi hadits dari beberpa aspeknya, maka pembahasan tentang Hadits Hasan selengkapnya akan dituangkan secara khusus dalam bab tersendiri, insya Allâh.
3. Hadits Dla’if
Dla’if (ضعيف) secara harfiah berarti lemah sebagai lawan dari kata kuat (quwwah, قوّة). Adapun yang dimaksud dengan Hadits Dla’if (الحديث الضعيف) adalah sebagaimana rumusan berikut ini:
الحديث الضعيف ما لم يجمع صفة الحسن بفقد شرط من شروطه
(Hadits Dla’if adalah hadits yang tidak memiliki syarat sebagi hadits hasan karena hilangnya sebagian syarat)
Dengan definisi tersebut dapat dipahami bahwa selain hadits shahih dan hadits hasan terdapat hadits dla’if. Tentu saja jumlahnya sebagai bentuk pecahan dari Hadits Dla’if adalah banyak. Dan pembahasan tentangnya selengkapnya akan dituangkan secara khusus dalam bab tersendiri, insya Allâh. Ketiga jenis hadits yang baru saja kita lewati penjelasan definitifnya tadi juga akan dikupas lagi secara detail dalam bab-bab tersendiri ditinjau dari beberapa seginya, insya Allâh.


C. BERDASARKAN MAQBUL DAN MARDUD
Hadits sebagai teks keagamaan yang sampai pada kita telah melewati masa dengan proses yang panjang dengan berbagai ujian, termasuk usaha-usaha pemalsuan dari komunitas tertentu. Oleh karena itu kehadirannya memungkinkan bagi kita untuk bersikap menerima atau menolaknya dengan berbagai alasan. Itulah yang dimaksud dengan hadits diketahui dari segi aksiologi, yakni diterima (maqbul) dan ditolak (mardud). Kata Maqbul (مقبول) secara harfiah berarti “diterima”, dan kata mardud (مردود) berarti “ditolak”. Hadits seluruhnya bisa dilihat dari segi maqbul dan mardud ini. Yang dimaksud dengan Hadits Maqbul (الحديث المقبول) dalam pengertian umum adalah hadits yang berstatus diterima dan disepakati oleh para ahlinya sebagai hujjah. Sedangkan Hadits Mardud (الحديث المردود) adalah hadits yang ditolak, yakni tidak dapat diambil sebagai hujjah dalam penetapan hukum, dan ia wajib diingkari.
1. Hadits Maqbul
Hadits Maqbul adalah hadits yang bisa diterima kehadirannya sebagai landasan beragama, baik dalam hal ibadah maupun mu’amalah. Hadits-hadits yang termasuk dalam jenis ini berdasarkan sifat dan kualitasnya diklasifikasi menjadi empat macam, yaitu:
a. Hadits Shahih;
b. Hadits Hasan;
c. Hadits Shahih li Ghairih;
d. Hadits Hasan li Ghairih;

Hadits Shahih adalah tingkatan hadits maqbul yang tertinggi karena dapat dipertanggungjawabkan validitasnya dari berbagai seginya. Tingkatan kedua adalah Hadits Hasan, yakni hadits yang tidak memiliki syarat sebagai hadits shahih tetapi tidak terlalu rendah derajatnya. Sedangkan Hadits Shahih li Ghairih adalah selaiknya Hadits Hasan tetapi oleh karena sebab lain ia dapat diangkat derajatnya hingga fungsinya seperti Hadits Shahih sebagai sumber hukum karena tidak ditemukannya Hadits Shahih ketika itu. Adapun Hadits Hasan li Ghairih adalah hadits yang semula berstatus sebagai hadits dla’if kemudian naik derajatnya menjadi hadits hasan karena faktor-faktor tertentu yang datang kemudian hingga menjadi-kannya mampu menempati posisi hadits hasan.
Hadits Maqbul mempunyai sifat-sifat yang sekaligus merupakan karakteriktik sebagai berikut, yakni berupa:
a. Hadits Mutawatir;
b. Hadits Ahad yang marfu’, musnad, dan shahih;
c. Hadits Ahad yang marfu’, musnad, dan hasan.
Dengan memperhatikan ciri-ciri di atas maka diketahui bahwa Hadits Maqbul bisa jadi bersifat muhkam (محكم) jika tidak diketahui adanya perselisihan (mukhtalif) dengan hadits lainnya, yakni pesannya wajib diamalkan (wujub al-‘amal bih, وجوب العمل به). Jika terdapat perselisihan di antara hadits-hadits lainnya, maka Hadits Maqbul akan berstatus sebagai Mukhtalif al-Hadits. Dan jika diketahui dalam peselisihan tersebut adanya hadits yang lebih shahih (ashah minhu, أصحّ منه), maka salah satunya dinamakan sebagai Hadits Nasikh dan lainnya dinamakan Hadits Mansukh. Dan jika di antara hadits-hadits tadi tidak diketahui mana yang lebih unggul (arjah) maka ia disebut sebagai Hadits Mutawaqqaf ‘alaih (الحديث المتوقّف عليه), yakni hadits yang ditangguhkan penggunaannya.
Tingkatan Hadits Maqbul
Berdasarkan uraian di atas hadits yang maqbul ditinjau dari segi fungsionalnya dibedakan menjadi dua macam tingkatan, yaitu:
a. Ma’mul Bih (المعمول به), yakni hadits yang seharusnya diamalkan pesan-pesannya (wujub al-‘amal bih, وجوب العمل به), yakni hadits yang mutawatir, shahih, shahih li ghairih, dan hasan;
b. Ghair Ma’mul Bih (غير المعمول به), yaitu hadits yang isinya tidak harus diamalkan, tetapi cukup diambil sebagai sumber informasi, yaitu hadits ahad, dan hadits hasan li ghairih.


2. Hadits Mardud
Dan ditinjau dari segi ditolaknya, maka hadits yang masuk ke dalam jenis ini adalah hadits-hadits yang tidak marfu’, tidak musnad, dan tidak shahih, atau yang bukan hadits marfu’, musnad, dan hasan. Atau dapat dikatakan, bahwa Hadits Mardud adalah hadits yang ditolak karena memiliki ciri-ciri yang sekaligus alasan untuk ditolak antara lain sebagai berikut:
a. sanadnya tidak bersambung, atau munfashil (منفصل);
b. terdapat perawi yang cacat dalam sanad;
c. cacat matannya.

Banyak faktor yang menyebabkan seorang rijal dalam sanad hadits dinyatakan cacat, yaitu sebagai berikut:
a. terlalu lengah;
b. sering salah;
c. menyalahi orang-orang kepercayaan;
d. banyak berprasangka; dan
e. tidak baik hafalnnya.

Hadits Mardud ditinjau dari segi fungsinya tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum karena terdapat banyak kelemahan dan kekurangan di dalamnya. Dan Hadits Dla’if dan berbagai pecahannya secara umum adalah termasuk kategori hadits yang ditolak (hadits mardud). Apa lagi Hadits Palsu (Hadits Maudlu’). Ikutilah pembahasan berikutnya!
Di antara hadits-hadits yang termasuk kategori tidak diterima atau ditolak pada umumnya adalah hadits-hadits yang merupakan cabang hadits dla’if dan hadits maudlu’. Di antaranya sebagai berikut.
a. hadits Mursal
Secara harfiah, mursal berarti diutus, dikirim, dilepaskan. Hadits Mursal (الحديث المرسل) yaitu hadits yang hadits yang disampaikan oleh seorang tabi’in, baik Tabi’in Besar maupun Tabi’in Kecil, tanpa menyebut nama shahabat. Atau dengan definisi sebagai berikut:
ما سقط من آخر إسناده مَن بعدَ التابعيّ
(Yakni hadits yang gugur sanad setelah Tabi’i pada akhir isnad)

Contohnya adalah hadits ibn al-Musayyab yang dapat dilihat dalam bab Hadits Dla’if, insya Allâh.

b. hadits Mu’allaq
secara harfiah, mu’allaq berarti digantung. Hadits Mu’allaq (الحديث المعلّق) yaitu hadits yang perawinya gugur pada awal sistem sanad, baik seorang, dua orang, atau semuanya kecuali seorang shahabi. Contohnya adalah hadits riwayat al-bukhari tentang menutup lutut yang dapat disimak dalam bab Hadits Dla’if.

c. hadits Munqathi’
Munqathi’ secara harfiah berarti terputus. Hadits Munqathi’ (الحديث المنقطع) adalah hadits yang dalam sistem sanadnya terdapat sanad yang terputus di dua fase secara tidak berurutan, misalnya terputusnya sanad pada titik sanad ketiga dan pada titik kelima.
Contoh selengkapnya adalah riwayat ‘Abdur Razzaq yang dapat disimak dalam bab Hadits Dla’if.

d. hadits Mu’dlal
Secara harfiah, kata mu’dlal berarti yang dicelakakan. Maka secara terminologis Hadits Mu’dlal (الحديث المعضل) adalah hadits yang dalam sistem sanadnya terdapat sanad yang terputus di dua fase secara berurutan, misalnya terputus pada titik sanad ketiga dan pada titik keempat. Para muhadditsun mendefinisi-kannya sebagai berikut:
ما سقط من إسناده اثنان فأكثر على التوالي [25]
(Yaitu hadits yang terjadi keguguran dua sanad atau lebih secara berurutan)
Secara jelas contohnya adalah hadits Abu Hurairah ra. yang dapat diperhatikan dalam bab Hadits Dla’if.

e. hadits Matruk
Secara harfiah, kata matruk (متروك) berarti yang ditinggal atau ditinggalkan. Sedangkan yang dimaksud dengannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang tertuduh sebagai pendusta, baik terkait dengan masalah hadits maupun lainnya, atau tertuduh sebagai seorang fasiq, atau karena sering lalai ataupun banyak sangka. Contohnya adalah hadits ‘Amr ibn Syamir al-Kufi al-Syi’i yang dapat disimak dalam bab Hadits Dla’if, insya Allâh.

f. hadits Munkar
Munkar (منكر) secara harfiah berarti diingkari. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang lemah, yang menyalahi riwayat rawi yang tsiqah, atau riwayat yang lebih lemah lagi. Contohnya akan ditampilkan dalam bab Hadits Dla’if.
g. hadits Mu’allal
Secara harfiah, mu’allal (معلّل) berarti yang dicacat. Hadits Mu’allal yaitu hadits yang di dalamnya terdapat sebab-sebab (‘illat) tersembunyi, hal mana sebab-sebab tersebut baru diketahui setelah dilakukan penelitian yang mendalam, dan secara lahiriah hadits tersebut mempunyai cacat. Cacat dalam sanad lebih sering terjadi karena mauquf daripada pada matan. Cacat pada matan adalah seperti hadits tentang tidak adanya bacaan basmalah dalam shalat.
Contohnya dapat disimak dalam bab Hadits Dla’if.

h. hadits Mudltharib
Mudltharrib (مضطرب) secara harfiah berarti tercipta. Dan secara terminologis, Hadits Mudltharrib (الحديث المضطرب) adalah hadits yang riwayatnya atau matannya berlawan-lawanan, baik dilakukan oleh seseorang atau banyak rawi, dengan cara menambah, mengurangi ataupun mengganti. Riwyatnya tidak dapat dianggap kuat salah satunya, demikian pula matannya. Hadits jenis ini dapat diamalkan jika dapat dikompromikan. Dan jika tidak, maka tidak.
Hadits Mudltharib dibedakan menjadi dua, yaitu:
(1) mudltharrib pada sanad;
(2) mudltharrib pada matan.


i. hadits Maqlub
Hadits Maqlub (الحدبث المقلوب) adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang di dalamnya terjadi keterbalikan, yakni mendahulukan bagian belakang, atau membelakangkan yang terdahulu, baik berkenaan dengan sanad maupun matan. Secara harfiah, kata maqlub (مقلوب) berarti dibalik atau terbalikkan. Contohnya akan disajikan dalam bab Hadits Dla’if dengan memperhatikan aspek-aspeknya, insya Allâh, yaitu:
(1) Maqlub pada segi sanad;
(2) Maqlub pada segi matan;

j. hadits Mudraj
Mudraj (مدرج) berarti dimasukkan atau dilesapkan (mudkhal, مدخل). Maka hadits mudraj adalah hadits urutan isnadnya diubah, atau hadits yang telah disisipkan perkataan orang lain ke dalam matannya, baik dari kelompok Shahabi maupun tabi’in, untuk keperluan penjelasan terhadap makna yang dikandungnya. Jika hadits yang demikian masih bisa dideteksi unsur penglesapannya kemudian disingkirkan maka menjadi shahih, tetapi jika sulit disortir maka menjadi dla’if status haditsnya.
Perhatikan contohnya pada bab Hadits Dla’if, insya Allâh!

k. hadits Mudallas
Secara harfiah kata mudallas (مدلّس) berarti menyembunyikan sesuatu yang cacat. Maka secara terminologis hadits mudallas adalah hadits yang disamarkan (ditutupi) unsur cacatnya dalam sanad, dan ditampilkan baiknya. Misalnya seorang rawi menerima banyak hadits dari seorang gurunya lalu ia meriwayatkan sebuah hadits yang tidak diambil dari gurunya tersebut tetapi dinyatakan darinya (demi kebaikan) padahal diambilnya dari gurunya yang lain. Biasanya digunakan kata qala (قال) atau ‘an (عن), bukan kata sami’tu (سمعت) atau haddatsani (حدّثني) hingga –agar terkesan halus, santun-- tidak bisa dikatakan sebagai pendusta (kadzdzab, كذّاب). Contohnya dapat disimak dalam bab Hadits Dla’if.

l. Hadits Maudlu’
Adapun Hadits Maudlu’ (الحديث الموضوع) adalah jelas-jelas ditolak dalam syari’at Islam tanpa syarat. Dengan kata lain, hadits maudlu’ adalah hadits palsu. Pembahasannya secara khusus akan disajikan pada bab tersendiri mendatang, insya Allâh.

D. BERDASARKAN SUMBER HADITS
Hadits yang sampai pada kita memiliki dua kemungkinan jika dilihat dari segi sumbernya. Hadits ada yang disandarkan langsung pada nabi saw. sebagai sumber utamanya, dan ada kemungkinannya hanya berhenti pada seorang shahabat sebagai penyampai informasi pertama, bahkan terkadang hanya bersumber dari seseorang dari generasi tabi’in. Dengan demikian dilihat dari segi ini hadits diklasifikasi menjadi tiga macam, yaitu hadits marfu’, hadits mauquf, dan hadits maqthu’.
1. Hadits Marfu’
Kata marfu’ (مرفوع) secara harfiah berarti diangkat atau terangkat hingga pada posisi yang tinggi. Maka hadits marfu’ (الحديث المرفوع) adalah hadits yang oleh para muhadditsun dinyatakan sebagai hadits yang disandarkan langsung pada nabi saw., baik sanadnya bersambung secara utuh (muttashil) ataupun tidak secara utuh (ghair muttashil), yaikni terdapat sanad yang terputus di dalamnya. Jika kterputusan terjadi pada dua titik atau lebih secara tidak berurutan maka dinamakan hadits munqathi’ (منقطع), dan jika putusnya di dua titik secara berurutan maka disebut dengan istilah hadits mu’dlal (معضل).
Hadits marfu’ biasanya mempunyai ciri adanya pernyataan “Nabi bersabda (قال النبيّ)” atau “Rasul bersabda (قال الرسول)” atau “Rasul berbuat (فعل الرسول)” atau yang serupa. Hadits yang demikian dikatakan sebagai marfu’ karena memiliki sumber pengambilan dari posisi yang tertinggi, yaitu Nabi saw.
Berdasarkan keterangan di atas, maka hadits marfu’ dapat jabarkan menjadi empat kategori hadits, yaitu:
a) Hadits Marfu’ Qawli
Contohnya adalah pernyataan seorang Shahabi atau lainnya bahwa rasul bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم كذا ...
(Rasul Allâh saw. bersabda demikian …)

b) Hadits Marfu’ Fi’li
Contohnya adalah pernyataan seorang Shahabi tentang apa yang dikerjakan nabi saw.:
فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم كذا ...
(Rasul Allâh saw. berbuat demikian …)

c) Hadits Marfu’ Taqriri
Contohnya adalah pernyataan seorang Shahabi atau lainnya:
فُعِل بحضرة الرسول صلى الله عليه وسلم كذا ... ولا يروي انكاره لذلك الفعل
(Ada perbuatan yang dilakukan di hadapan (masa) Rasul Allâh saw. demikian … tetapi seorang Shahabi tidak meriwayatkan ketidaksetujuan beliau terhadap perbuatan tersebut)

d) Hadits Marfu’ Washfi
Contohnya adalah pernyataan seorang Shahabi atau lainnya:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أحسن الناس خلقا
(Rasul Allâh saw. adalah sebaik-baik manusia dari segi akhlaq)

2. Hadits Mauquf
Mawquf (موقوف) secara harfiah berarti berhenti atau dihentikan. Maka yang dimaksud dengan hadits mauquf (الحديث الموقوف) adalah hadits yang yang dinyatakan oleh seorang shahabi, baik dengan sistem sanad yang muttashil pada nabi maupun munqathi’. Jadi hadits ini hanya berhenti pada level shahabi sebagai sandaran informasi. Misalnya hadits yang secara umum di dalamnya terdapat pernyataan “’Umar ra. berkata (قال عمر)”.
Contohnya adalah seperti pernyataan seorang perawi:
قال عليّ بن أبي طالب كرّم الله وجهه : حدّثوا الناس بما يعرفون. أتحبون أن يكذَّب اللهُ ورسولُه (رواه البخاري)[26]
(Ali ibn Abi Thalib berkata: “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan apa yang mereka mengerti. Apakah kamu mau Allâh dan Rasul-Nya saw. didustakan?”) H.R. al-Bukhari.
Contoh lainnya adalah hadits Abu Hurairah ra.:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا عَمْرٌو قَالَ أَخْبَرَنِي وَهْبُ بْنُ مُنَبِّهٍ عَنْ أَخِيهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ مَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ أَكْثَرَ حَدِيثًا عَنْهُ مِنِّي إِلاّ مَا كَانَ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلا أَكْتُبُ (رواه البخاري) [27]
(….AbHurairah ra. berkata: “Tak seorang pun dari shahabat Nabi saw. yang lebih banyak haditsnya daripada aku kecuali hadits yang dimiliki oleh Abdullah ibn ‘Amr, karena ia menulis sedangkan aku tidak menulis”) H.R. al-Bukhari.

Para ‘Ulama bersilang pendapat dalam penggunaan hadits mauquf. Menurut al-Imam al-Syafi’i dalam Qaul Jadidnya, hadits jenis ini tidak dapat dijadikan hujjah. Jika dijadikan hujjah maka hadits mauquf harus didahulukan atas qiyas dan lazim kita amalkan pesannya, dan kita sekali-kali tidak boleh menyalahinya. Dan jika tidak dinyatakan sebagai hujjah maka boleh mendahulukan qiyas atasnya, dan kita diperbolehkan menyalahinya.[28]

3. Hadits Maqthu’
Kata maqthu’ (مقطوع) berasal dari kata qatha’a (قطع) yang secara harfiah berarti terputus atau diputuskan, yang berlawan kata washala (وصل) dengan arti sampai atau bersambung. Maka yang dimaksud dengan hadits maqthu’ (الحديث المقطوع) adalah hadits yang disandarkan kepada seorang tabi’in atau pengikut tabi’in, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Dikatakan terputus karena sanadnya tidak bersandar langsung pada nabi atau bahkan tidak pada shahabat. Jadi, hadits maqthu’ bisa dikatakan merupakan pernyataan dari generasi tabi’in. Misalanya adalah hadits yang umumnya dinyatakan dengan “ibn al-Musayyab berkata (قال ابن المسيّب)”.
Contohnya adalah seperti pernyataan al-Hasan al-Bashri sebagai seorang tabi’in mengenai pelaksanaan shalat di belakanag (sebagai makmum pada) orang berkebiasaan bid’ah (al-mubtadi’, المبتدع):
صلّ وعليه بدعتُه (رواه البخاري) [29]
(Kerjakanlah shalat, dan menjadi tanggungjawabnya (sikap) bid’ahnya) H.R. al-Bukhari.

Hadits tersebut dilihat dari segi redaksinya dinamakan hadits maqthu’ karena diucapkan oleh seorang tabi’in, yaitu al-Hasan al-Bahsri.

Maqthu’ dan Munqathi’
Secara harfiah dua kata tersebut mempunyai arti yang sama, yakniterputus atau diputus. Tetapi secara terminologis relasional keduanya dapat dibedakan. Terma maqthu’ (مقطوع) dipakai berkenaan dengan matan hadits, apakah materinya bersandar pada nabi atau lainnya, sedangkan terma munqathi’ (منقطع) erat hubungannya dengan sistem sanad atau isnad, yakni keterputusan jalur yang menuju pada nabi saw.. Jika dikatakan sebagai hadits munqathi’ maka maksudnya adalah bahwa sistem sanad hadits tersebut tidak muttashil, tetapi tidak terkait dengan matan.[30]Penjelasan selengkapnya akan dijumpai dalam bab hadits Dla’if, insya Allâh. Sekian, semoga bermanfa’at .
Wa Allâh a’lam bi al-shawâb -- MS2F --


[1]Lihat Al-Mukhtashar fi Ushul al-Hadits, dalam al-Maktabah al-Syamilah, h. 1.
[2] Lihat Hasbi as-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Rizki Putera, 1999, h. 177. Bandingkan dengan Mahmud Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadits, Surabaya: al-Haramain, t.th., h. 19.
[3] Lihat Shahih al-Bukhari, bab al-‘Ilm, h. 189, hadits nomor 107.
[4] Lihat Al-Mukhtashar fi Ushul al-Hadits, bab Aqsam al-Hadits.
[5] Jamaluddin al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdits, t. penerbit, t.th., h 146.
[6] Kriteria mengenai jumlah ini bervariasi. Yakni berkisar antara angka 5 dan 10.
[7]Mahmud Yunus, Ilmu Mushthalah al-Hadits, Jakarta: Sa’diyah Putera, t.th., h. 23.
[8] Lihat Jalaluddin al-Qasimi, Op. Cit., juz, h. 123.
[9] Lihat al-Hafidh ibn Hajar, Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th., Nuzhah al-Nadhar, h. 26.
[10] Lihat Al-Ghazali, al-Mushtasyfa, jilid I, h. 93-99.
[11] Hasbi as-Shiddiqi, Op. Cit., h. 182.
[12] Mahmud Thahhan, Op. Cit., h. 23.
[13] Shahih al-Bukhari, juz 1, h. 176. Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, ibn Majah, Ahmad, al-Baihaqi, al-Nasa`i, al-Thabrani, al-Darimi, dan ibn Hibban yang secara umum bersumber riwayat dari ibn ‘Amr ra. sebanyakkan 30 kali, dan juga diriwayatkan melalui jalur ibn ‘Umar, Abu Hurairah, dan ‘Aisyah.
[14] Lihat Shahih Muslim, juz 3, h. 439. Hadits ini juga diriwayatkan oleh banyak perawi seperti al-Bukhari, Abu Dawud, al-Nasa`i, dan Ahmad ra. meski dengan redaksi yang berbeda-beda. Bahkan al-Imam Ahmad menulis hadits tersebut dalam Musnadnya hingga 12 kali.
[15] Shahih al-Bukhari, juz 1, h. 15 dan juz 20, h. 128. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa`i, Imam Ahmad (13 kali riwayat), al-Baihaqi, al-Thabrani (sebanyak 16 kali riwayat), al-Darimi, dan ibn Hibban.
[16] Hadits riwayat Abu Dawud. Lihat Sunan Abu Dawud, juz 2, h. 255, nomor 2178. Dalam sumber lain disebutkan, hadits ini juga diriwayatkan oleh ibn Majah (juz 1, h. 650, nomor 2018), al-Hakim (juz 2, h. 214, nomor 2794), ibn ‘Adi (juz 6, h. 461), al-Thabrani, dan al-Baihaqi (juz 7, h. 322, nomor 14671) melalui jalur ibn ‘Umar. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, dan diakui oleh al-Dzahabi tetapi dengan redaksi yang berbeda, yaitu ما أحَلَّ اللَّهُ تَعَالَىشيئا أَبْغَضُ إِلَيه من الطَّلَاقُ
[17]Hadits ini diriwayatkan oleh al-Thabrani melalui Tsauban (juz 2, h. 97, nomor 1430), dan melalui Umar ra., dan dinilai shahih oleh ibn Hibban dan al-Hakim, tetapi dinilai dla’if oleh al-Haytsami.
[18] Lihat Jami’ al-Ahadits, bab Musnan ‘Umar ibn al-Khatab, h. 491, hadits nomor 31558. Hadits ini dilihat dari segi sumbernya juga dinamakan hadits mawquf karena ‘Umar tidak menyandarkannya pada nabi saw.
[19] Lihat Bulugh al-Maram, h. 76. Hadits ditakhrij oleh al-Tirmidzi, dan dinilai sebagai hadits hasan.
[20] Ibn Hajar, Nukhbah al-Fikr wa Syarhiha, Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th., h. 21 dan 24.
[21]Hadits Riwayat al-Bukhari dan Muslim. Al-Bukhari meriwayatkan-nya dari jalur Abu Hurairah ra. dan Anas ra., sedangkan Imam Muslim ra. dari Anas ra. saja.
[22] Lihat Mahmud Tahhan, Op. Cit., h. 28.
[23] Hadits Riwayat al-Bukhari. Lihat Shahih al-Bukhari, juz 1, h. 3. hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, ibn Majah, ibn al-Jarud, ibn Jarir, al-Thahawi, ibn Hibban, dan al-Dar Quthni. 
[24] Hadits Riwayat al-Syaikhan.
[25] Lihat Mahmud Thahhan, Op. Cit., h. 75.
[26]Shahih al-Bukhari, juz I, h. 217, hadits nomor 124. Sanad hadits tersebut adalah al-Bukhari dari ‘Ubaidullah ibn Musa dari Ma’ruf ibn Kharrabudz dari Abu al-Thufail dari Ali kw.
[27]Ibid., hadits nomor 110.
[28] T.M. Hasbi as-Shiddiqie, Op. Cit., h. 172.
[29] Shahih al-Bukhari, juz I, h. 157.
[30] Mahmud Thahhan, Op. Cit., h. 134.

Tugas IJB Program Akta IV

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Penting bagi para peserta program Akta IV angkatan VI tahun 2008:

1. Setiap mahasiswa wajib mengumpulkan tugas kuliah, tugas akhir;
2. Setiap mahasiswa wajib membuat 9 soal dari materi kuliah IJB berdasarkan referensi yang telah dikenalkan;
3. Setiap mahasiswa wajib menjawab 5 soal dari soal-soal yang telah dibuatnya sendiri.
4. Setiap jawaban ditulis dengan rapi di atas kertas, dan harus mencantumkan sumbernya yang jelas;
5. Tugas harus dikumpulan sebagai tugas individu paling lambat tanggal 19 Mei 2008, dan dikumpulkan bersama dengan tugas lainnya (bagi yang belum mengumpulkan), di kantor Fakultas Agama Islam atau di rumah dosen dan tidak melewati batas tanggal di atas;
6. Bagi yang terlambat akan dibatalkan amal akademiknya dapa mata kuliah tersebut.

Demikian dan semoga menjadikan maklum.

Selamat bertugas ria
Ditugaskan pada tanggal 12 Mei 2008


والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


Dosen Pengampu,


Mahlail Syakur Sf.

DI Balik Hajar Aswad


YANG TERSEMBUNYI DALAM HAJAR ASWAD

Ada Apa Dengan Hajar Aswad?


“Hajar Aswad adalah batu yang berasal dari syurga dibawa oleh malaikat Jibril kepada Nabi Ibrahim as untuk membina Kaabah. Pada mulanya ia berwarna lebih putih dari susu, tetapi akibat sentuhan dosa anak-anak Adam, warnanya telah menjadi hitam. Semasa bertawaf, cium dan usaplah (Istilam)… dan jika tidak berkesempatan, cukuplah hanya sekadar melambainya dari jauh. Lebih elok dilakukan setiap pusingan jika mampu”, kata seorang ustaz kepada jemaahnya dalam proses pembelajaran tata-cara berhaji (sambil merujuk kepada hadis riwayat Imam Tirmidzi dan an-Nasa’i).
Sambungnya lagi dengan memetik sebuah hadis yang menceritakan keutamaan Hajar Aswad yang berbunyi; Dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah SAW bersada, “Demi Allah, Allah akan membangkit hajar Aswad ini pada hari qiyamat dengan memiliki dua mata yang dapat melihat dan lidah yang dapat berbicara. Dia akan memberikan kesaksian kepada siapa yang pernah mengusapnya dengan hak.” (HR Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darimi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, At-Tabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Al-Asbahani).“Hajar bererti ‘Batu’, Aswad pula bermakna ‘Hitam’. Hajar Aswad atau Batu Hitam ditempatkan pada salah satu penjuru Kaabah yang dinamakan ‘Rukun Hajar Aswad’…tempat permulaan tawaf…”.Kelancaran kuliah ustaz tadi terhenti seketika apabila salah seorang dari jemaah yang hadir bangkit bertanya soalan, “Apakah perbuatan mencium, mengusap ataupun melambai Hajar-ul-Aswad ada disuruh oleh Nabi saw? Bukankah ia menyerupai ritual kaum penyembah berhala?”Ustaz berkenaan dengan tenang tapi tegas menjawab; ‘Dalil jawapan bagi persoalan pertama boleh dilihat dari hadis yang diriwayatkan dari Imam Bukhari (dari Zubair bin Arabi), ia berkata, “Ada seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Umar tentang menyentuh Hajar (Aswad), lalu ia menjawab, 'Saya melihat Rasulullah menyentuh dan menciumnya…”‘Bagi persoalan kedua… kita perlu melihat pada contoh yang ditunjukkan oleh Saidina Umar ra, ketika Khalifah Umar al-Khattab ingin mencium batu tersebut, beliau telah berkata-kata, “Demi Allah, aku tahu bahwa engkau hanyalah sebongkah batu, seandainya aku tidak melihat Rasulullah menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu”. Kemudian Umar berkata lagi, “Sesuatu yang diperbuat oleh Nabi, maka kami tidak senang untuk meninggalkannya” (rujuk Shahih Bukhari dan Muslim).Jawabnya lagi, “Mencium, mengusap atau sekadar melambai Hajar Aswad adalah semata-mata atas kecintaan dan keyakinan terhadap sunnah Nabi saw, bukannya atas sebab keyakinan terhadap batu itu sendiri. Walaupun tidak ada suruhan jelas dari Nabi saw, tetapi apabila antara insan paling dekat dengan Baginda iaitu Umar juga melakukannya, maka apakah kelayakan kita untuk mempersoalkannya? Siapakah yang lebih faham tentang Haji, kita atau sahabat Nabi?”.Di akhir seesi pembelajaran, ustaz tadi menutup kuliahnya dengan satu peringatan pendek, katanya, “menurut metodologi mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah, aqal harus tunduk kepada naqal (hadis). Bila ada dalil, persoalan-persoalan yang ditimbulkan akal tidak lagi relevan. Kita tidak mahu menjadi orang yang bertuhankan akal!”.Jemaah yang bertanya tadi berpuas hati dengan jawapan yang diberikan. Dia kini tahu perbuatan itu ada dalilnya menurut hadis. Persoalan-persoalan lain yang timbul dimindanya tidak lagi dihiraukan kerana menurut Mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah, aqli harus tunduk pada naqli (hadis).Sememangnya ritual Hajar Aswad telah menjadi sesuatu yang dipandang penting dalam urusan Haji walaupun ianya diketahui bukan antara syarat-syarat sah berhaji. Tanpa ritual simbolik Hajar Aswad, haji seolah-olah dirasakan tidak lengkap. Hampir keseluruhan jemaah Haji yang bertawaf akan cuba sedaya-upaya berebut untuk merapati Hajar Aswad semampu yang mungkin.Bagaimana tidak? kerana melakukannya adalah diyakini bercontohkan dari Nabi saw melalui hadis-hadis diatas. Malah ada sebuah hadis lagi yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amru, yang berbunyi, “Malaikat Jibril telah membawa Hajar Aswad dari surga lalu meletakkannya di tempat yang kamu lihat sekarang ini. Kamu tetap akan berada dalam kebaikan selama Hajar Aswad itu ada. Nikmatilah batu itu selama kamu masih mampu menikmatinya. Karena akan tiba saat di mana Jibril datang kembali untuk membawa batu tersebut ke tempatnya semula” (HR Al-Azraqy).Seorang pengembara muslim yang terkenal, Ibnu Jubayr (1145-1271) dari Valencia pernah menggambarkan pengalaman emosi yang dirasainya ketika menyentuh Hajar Aswad, katanya; ‘Batu itu bila dicium, boleh dirasai kelembutan dan kesegarannya, sehinggakan sesiapa yang melekapkan bibirnya pada batu itu, tidak akan mahu mencabutnya kembali’.Walau bagaimana ‘istimewanya’ sekalipun Hajar Aswad, ulama ASWJ sentiasa mengingatkan umat Islam supaya tidak terkeliru pemikiran dengan ritual terhadapnya. Umat Islam ditekankan dengan kepentingan menyedari bahwa Hajar Aswad itu hanyalah batu yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan mahupun kebaikan kecuali dengan izin Allah SWT.Ulama ASWJ mengajar bahawa Istilam atau melambai kepada batu hitam itu hanyalah semata-mata sebagai ‘wujud ketaatan kepada Tuhan dengan mencontohi sunnah Rasul-Nya’. Kata mereka, Rasulullah saw sendiri pernah menunjuk Hajar Aswad dengan tongkat Baginda – sambil merujuk kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ‘bahawa Nabi mengerjakan Tawaf mengelilingi Ka’bah dengan menunggang seekor unta pada ibadah haji terakhir dan menyentuh hajar aswad dengan tongkatnya’ (Sahih Bukhari).
Jemaah Haji juga diperingatkan bahwa walaupun ‘mencium Hajar Aswad adalah sunnah, tapi menyakiti orang lain atau menyakiti diri sendiri adalah terlarang. Oleh sebab itu, dalam hal mencium Hajar Aswad tidak perlu terlalu memaksa diri jika tidak berkemampuan atau dalam keadaan berdesakan, terutamanya bagi kaum wanita. Selain membahayakan kesihatan, ia juga boleh mengakibatkan pertengkaran dan melanggar aturan hubungan antara kaum laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim (rujuk Fiqh-us-Sunnah, Sayyid Sabiq).
Dari Umar bin Khattab, bahwa Rasulullah saw. bersabda kepadanya: “Hai Abu Hafsh, engkau adalah seorang laki-laki kuat, maka janganlah engkau berdesakan di sudut (Hajar Aswad), karena engkau bisa menyakiti orang yang lemah. Tapi apabila engkau mendapati sepi maka beristilamlah, dan kalau tidak maka bertakbirlah dan berlalu”(H R. Ahmad).
Samada peringatan di atas efektif atau tidak di kalangan jemaah haji, kita hanya perlu melihat pada senario pengalaman berhaji dalam dunia muslim pada hari ini.
Akan tetapi bagi umat Islam yang tidak terikat kepada metodologi pemikiran ASWJ (aqal harus tunduk pada naqal), justifikasi jawapan ulama’ mengenai ritual Hajar Aswad dilihat tidak dapat memenuhi pertanyaan-pertanyaan yang ditimbulkan minda mengenai kesahihan pengamalannya. Umat Islam yang memahami ajarannya menerusi peranan akal dan hati melihat praktik ini tidak Islamik walaupun terdapat hadis-hadis sebagai dalilnya.Metodologi pemikiran sebegini sebenarnya sejalan dengan petunjuk al-Quran yang mengajar manusia untuk tidak mengunci akal dan hati, serta sentiasa berfikir dan merenung diri dan alam kehidupan ciptaan-Nya bagi meningkatkan kematangan pemahaman mengenai Islam.‘..dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya’ (An-Nasr:100).Al-Kalam Al-Qura’ni (Teologi al-Quran) memperingatkan kita supaya tidak mengabai keterikatan antara Teologi Alam atau ‘Theology of Nature’ dengan Teologi Alamiah atau ‘Natural Theology’. Perlu ada keseinambungan antara ‘memahami alam menerusi wahyu’ (Teologi Alam) dan ‘memahami wahyu menerusi alam’ (Teologi Alamiah), sebagaimana ‘aqal berpandu naqal’ dan ‘naqal diinspirasi akal’. Ia seperti perhubungan spiritual dan fizikal, atau antara metafizik dan sains;- ia saling memerlukan untuk evolusi kematangan serta kemajuan pemikiran dan pengetahuan.Rasulullah saw tidak mahu umatnya menjadi seperti keldai memikul kitab, iaitu mengabai fungsi akal dan hati dalam memahaminya serta menjalani kehidupan sebagai seorang muslim. Dia perlu ada kesedaran akal dan hati terhadap perlakuannya.‘Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal..’ (al-Jumuah:5).Berdasarkan perspektif al-Quran, jika minda mula mencurigai ritual Hajar Aswad sebagai sebahagian dari ajaran Islam, ia sebetulnya memerlukan jawapan-jawapan bagi mententeramkannya. Kajian-kajian ilmu dan pengetahuan di luar kotak pemikiran hadis perlu juga diterokai, samada dari sudut sains mahupun sejarah (termasuk penemuan arkeologi).PERCUBAAN MEMAHAMI HAJAR ASWAD MENURUT AL-KALAM AL-QURA’NIMenurut sejarah Islam apabila Nabi saw berhasil menakluki Mekah, semua berhala-berhala sesembahan disekitar dan di dalam Kaabah dimusnahkan. Baginda tidak lagi mahu kaum Arab musyrik terus-menerus tenggelam dalam kegelapan dan kesesatan melalui praktik pemberhalaan. Rasulullah mengajar bahawa manusia tidak memerlukan pengantara-pengantara untuk berhubung dengan Tuhan, apatah lagi praktik-praktik yang berfokus kepada suatu ‘objek’ sebagai ‘alat pengabdian diri’ kepada Allah. Ini sebagaimana dinyatakan al-Quran menerusi sejarah Nabi Ibrahim as;‘Berkata Ibrahim: “Apakah berhala-berhala itu mendengar mu sewaktu kamu berdoa (kepadanya)?” (asy-Syu'ara:72).‘Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala’ (Ibrahim:35).Mengingatkan hal ini, maka amatlah sulit diterima ritual mencium, mengusap atau melambai Hajar Aswad adalah dicontohkan dari Nabi saw kerana ianya menyerupai amalan kaum musyrik Mekah sebelum berkembangnya Islam.
Kaum Arab musyrik percaya pada satu Tuhan Tertinggi yang menguasai universe tetapi pada masa yang sama percaya mereka memerlukan pengantara (manusia dan berhala) untuk ‘berhubung’ dengan-Nya. Kaum Arab Mekah (pra-Islamik) misalnya mempunyai kepercayaan - ‘Tuhan kembali ke arasyh-Nya selepas mencipta universe dan seterusnya bertindak sebagai pemerhati. Perjalanan kehidupan manusia bergantung kepada takdir yang dikuasai oleh universe dan elemen-elemennya secara tersendiri’ – maka untuk kesejahteraan dan keselamatan, elemen-elemen ini perlu disembah dan dipuja (rujuk Bulugh al-Irb-fi Ahwal al 'Arab, Sayyid Mahmud Shakir al-Alusi).
‘Jika engkau bertanya kepada mereka (yang musyrik) itu: Siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Sudah tentu mereka akan menjawab: Yang menciptakannya ialah Allah Yang Maha Kuasa, lagi Maha Mengetahui’ (az-Zukhruf:9).
‘Maka apakah patut kamu menganggap al Lata dan al Uzza, dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?’ (an-Najm:19-20).
Al-Latta, al-Uzza dan Manat adalah ‘Tiga Berhala’ penting dalam ritual keagamaan kaum musyrik. Ia adalah pemberhalaan idea-idea abstrak mengenai keterikatan perhubungan Tuhan dengan manusia melalui pengantara-pengantara ciptaan-Nya. Al-Latta-Uzza-Manat adalah prototaip sebagaimana Trimurti (Hinduism) dan Triniti (Kristianiti) atau juga Logos (Yunani). Ia berhubung penciptaan kosmik dan kejadian manusia.Dalam contoh sejarah keagamaan dunia, al-Latta adalah dewi prototaip kepada (misalnya) Letto, ‘dewi’ kepercayaan Yunani. Al-Uzza sebagaimana ‘Oorja’ pada Hinduisme yang bererti ‘Divine Energy’ dan Manat pula bererti ‘Ketentuan’ atau ‘Destiny’.Al-Latta adalah ‘Creator’, al-Uzza ialah ‘Preserver’ dan Manat adalah ‘Destroyer’, yang ketiga-ketiganya bersumber dari Tuhan Yang Satu (THE SELF). Menurut kepercayaan kaum musyrik Mekah, Tuhan, dengan kehendak-Nya, melalui proses kesatuan al-Latta, al-Uzza dan Manat ini mencipta satu ‘Diri’ (Self) yang diberhalakan oleh kaum musyrikin Arab sebagai ‘Hubal’ (My Lord) atau ‘Bal’ (Lord). Hubal adalah berhala ‘The Perfect Man’, yang mengisyaratkan ‘penjelmaan Tuhan dalam diri manusia’. Menyembah Hubal bererti mengharapkan kesempurnaan hidup.Hubal muncul dari alam ghaib dan menjelma ke alam nyata melalui perantaraan al-Latta-Uzza-Manat. Jika dipandang melalui sudut terminologi sufistik, ia sebenarnya adalah perjalanan Ruh al-Quds dari Alam Lahut (dimensi ketuhanan) ke Alam Jabarut (ilmu, ketentuan, takdir), kemudian turun ke Alam Malakut (malaikat, tenaga) dan akhirnya menjelma bersatu dengan Alam Mulki (fizik, nyata).Dalam bahasa hari ini, pemikiran metafizikal sebegini dinamakan sebagai ‘The Secret Teaching’ atau ‘Doktrin Rahsia’, ia ada dalam semua kepercayaan tamadun kuno (bangsa dan agama berlainan). Walaubagaimanapun, ada perbezaannya di antara kaum yang berfikir dan merenung ‘ajaran rahsia’ ini menurut akal dan hati yang jernih, dengan kaum yang ‘memberhala’ ajaran rahsia dengan bertopengkan hawa nafsu dan kejahilan diri. Golongan kedua ini digelar al-Quran sebagai kaum musyrik.Pintu metafizik yang memisahkan antara alam zahir dengan alam batin disimbolkan oleh kaum musyrik dalam bentuk ‘Batu Hitam’ yang tidak berbentuk atau berupa - yang membawa pengertian al-Ghaib.Batu Hitam adalah seperti ‘Black Hole’ yang menjadi penghubung antara manusia dengan Penciptanya, antara alam nyata dengan alam ghaib. Mengusap Batu Hitam bererti menyelak tabir yang menutupi alam Malakut, Jabarut dan seterusnya alam Lahut bagi ‘menghampiri’ Tuhan dan rahsia-Nya.Ini mirip sebagaimana yang diisyaratkan oleh sebuah hadis maudhu dalam Tarikh al-Baghdad, al-Khathib yang berbunyi; “Hajar aswad adalah tangan kanan Allah di muka bumi, dengannya Allah menjabat tangan hamba-hamba-Nya”.Dilaporkan dalam sebuah kisah sufi bahawa, salah seorang Imam Sufi, Sheikh Abu Bakar Shibli setelah kembali dari berhaji pergi melawat mentornya Imam Junaid sebagai tanda hormat. Setelah berjumpa, gurunya bertanya; “apakah kamu mencium Hajar al Aswad?”. Shibli menjawab, “ya”. Mendengarkan ini, gurunya berkata; “Sesungguhnya berbahagialah sesiapa yang menyentuh Hajar Aswad kerana ia seolah-olah bererti dia telah menjabat ‘tangan’ Allah….”Menurut penulis, pemberhalaan Batu Hitam pada praktik kaum musyrik adalah simbol menyerupai alam ‘voidness’ atau dipanggil ‘Sunyata’ dalam ajaran Gauthama. Ia adalah pintu metaforis perjalanan dua-hala iaitu manusia menjelma ‘dari-Nya’ dan kembali ‘kepada-Nya’. Batu Hitam adalah pintu masuk dan keluar bagi manusia, dari alam ghaib ke alam nyata dan kemudiannya dari alam nyata kembali semula ke alam ghaib, sebagaimana alam sebelum kelahiran (dalam rahim) dan alam selepas kematian (barzakh).Dalam tradisi kaum Arab Jahiliah, mencium kepala (atau dahi) adalah salah isyarat memohon kemaafan. Jadi mencium dan megusap Batu Hitam secara tidak langsung membawa kepada dua tujuan; pertama, untuk ‘kesempurnaan kelahiran’ dan kedua, untuk ‘kesempurnaan kematian’, dimana keduanya bermaksud satu tujuan iaitu untuk ‘Kesejahteraan Kehidupan’.Kaum Arab musyrik menyangka dengan ‘menghormati’ Batu Hitam, semua dosa-dosa manusia yang menciumnya dipercayai diserap oleh batu tersebut (yang diisyaratkan melalui warnanya yang hitam) dan mereka kelak akan mati tanpa dosa sebagaimana bayi yang baru lahir.Pada sesetengah agama polytheis hari ini, kita boleh melihat praktik menjamah batu berhala dan kemudian menyapunya ke muka adalah suatu ritual kebiasaan. Malah jika penganutnya tidak berpeluang mendekati kuil-kuil mereka, mereka akan sekadar mengangkat tinggi dan merapatkan kedua-belah telapak tangan ke arah batu berhala tersebut dari jauh.Segelintir penganalisa sejarah keagamaan Hinduisme melihat ritual kaum Muslim di Rukun Hajar Aswad ada menyerupai ritual kaum Hindu dalam ‘memuja’ batu Shankara (Siva). Dalam bahasa Sanskrit, ‘Sanghey Ashweta’ bermaksud – ‘non-white stone’ atau dalam kata lain, Batu Hitam.Kajian arkeologikal di kawasan-kawasan yang pernah didiami oleh kaum Nabatean Arab dahulu mengisyaratkan penyembahan terhadap batu hitam mempunyai hubungan rapat dengan penyembahan ‘fertility goddess’. Ini tidak perlu di hairankan kerana ia berhubungan dengan kelahiran zuriat.Dalam sejarah Yunani, Diana adalah ‘Fertility Goddess’. Berhala Diana yang paling kuno ditemui oleh para arkeologi adalah dalam bentuk ukiran batu meteor hitam. Dewa-dewi lain yang dikaitkan dengan batu hitam dalam sejarah keagamaan dunia adalah seperti ‘Aphrodite’ (Paphos), ‘Cybele’ (Rome) dan ‘Astarte’ (Byblos).Berdasarkan penemuan ini dan kajian terhadap tradisi keagamaan Arab dan agama-agama kuno lain yang menunjukkan signifikannya penghormatan terhadap Batu Meteorit, sebahagian historian sekular mengandaikan bahawa Hajar Aswad juga berkemungkinan adalah batu meteorit.Andaian ini sudah tentunya disanggah oleh majoriti umat Islam kerana Hajar Aswad diyakini berasal dari syurga. Walaupun ada cara untuk meminimalkan keraguan ini, iaitu dengan mengkaji Hajar Aswad secara saintifik, tetapi penulis yakin mustahil sekali penjaganya iaitu kerajaan Arab Saudi akan membenarkannya.Kesimpulannya, ritual batu hitam adalah idea-idea abstrak yang diberhalakan. Ia amat signifikan kepada Arab Jahiliah kerana ia secara simbolik dipercayai menggambarkan keterikatan antara ‘yang ghaib’ dengan ‘Yang Ghaib’ melalui ‘Tiga Pengantara’ (Latta-Uzza-Manat) utama (yang kemudiannya berpecah menjadi beratus-ratus pengantara yang juga diberhala dan disembah). Dengan menyembah al-Latta, Uzza dan Manat, manusia musyrik telah menjadi hamba kepada Hubal atau ‘Ego’. Hanya mereka-mereka yang membebaskan diri dari pemberhalaan saja yang hanya akan berjaya mentadbir ‘Ego’.Jika kita berbicara dalam konteks Ulumul-Hadis, ritual Hajar Aswad bukanlah bersumberkan ‘dalil qathi’ kerana tidak ada suruhan tegas atau jelas dari Nabi saw mengenainya. Ia hanya laporan berbentuk andaian yang dibuat berdasarkan pemerhatian terhadap perilaku Nabi saw. Keyakinan disandarkan pada kata-kata yang dinisbatkan pada sahabat, misalnya Umar (ra).Akan tetapi sesuatu yang perlu kita lihat secara kritis ialah, apabila Saidina Umar dilaporkan berkata, “Demi Allah, aku tahu bahwa engkau hanyalah sebongkah batu”, bagi penulis ia mengisyaratkan kata-kata itu bermula dengan perasaan ‘janggal’ atau semacam penolakan atau tindakbalas fitrah terhadap praktik tersebut, tetapi kemudiannya beliau dikatakan meneruskan praktik itu kerana tidak mahu meninggalkan contoh yang dinisbatkan pula Rasulullah saw.Seperti yang kita maklum, Umar ra merupakan seorang sahabat yang tidak segan-silu bertanya, beragumentasi serta mengutarakan pendapatnya kepada Nabi saw sekiranya perlu. Ini adalah karakter Umar.Mengingatkan hal ini, kita perlu ‘bertanya’ mengapa Umar tidak menanyakan secara langsung kepada Nabi saw sewaktu baginda masih hidup? Ataupun sememangnya tidak ada apa yang perlu ditanyakan kerana Nabi saw sendiri tidak pernah menganjurkan praktik seumpama itu?Andaian sebegini sudah tentunya pula secara tidak langsung akan meragui matan-matan hadis berkaitan Hajar Aswad yang diterima ASWJ.Menurut pendapat peribadi penulis, hadis-hadis yang diterima mengenai Hajar Aswad atau ritualnya tidak ada satu pun yang secocok untuk dimadukan dengan karakteristik sang penyampai wahyu iaitu Nabi Muhammad saw dan para Sahabatnya sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Quran dan hadis-hadis yang sejalan dengan petunjuknya.Malah, tidak ada suruhan jelas atau tegas dari Nabi saw yang menyuruh mengamalkan praktik tersebut. Jika kita semak status hadis-hadis Hajar Aswad, ia bukanlah mutawatir. Selain Muttafaq‘alaih, hadis-hadis Hajar Aswad lain saling memerlukan antara satu sama lain untuk menguatkan konteksnya (rujuk az-Zarqani, syarah al-Muwaththa'). Ia tidak boleh berdiri secara sendiri. Dalam dua Sahih besar pula (sepanjang pemgamatan penulis), tidak ada kata-kata Nabi saw secara jelas menyuruh umatnya Istilam ataupun melambai Hajar Aswad.Bukankah dari pemahaman hadis Muttafaq’alaih yang sama juga boleh dibuat andaian bahawa Hajar Aswad dilihat Nabi saw hanya semata-mata sebagai penanda pusingan tawaf ataupun penghargaan sejarah dan tidak lebih dari itu?Bagi umat Islam yang melihat perihal Hajar Aswad melalui al-Kalam al-Qura’ni, ritualnya tampak ‘kabur’ serta tidak sepatutnya di-‘endorse’-kan sebagai sunnah Nabi dan sebahagian dari inti ajaran Islam itu sendiri. Sebaliknya, ia lebih mengarah kepada tradisi turun-temurun kaum Arab dalam memahami agamanya.Jadi tidak disalahkan jika sebahagian umat Islam menolak ritual Hajar Aswad kerana tidak dilihat sebagai Islamik berdasarkan semua maklumat dan persoalan seperti yang dinyatakan sebelumnya di atas.Tetapi, bagi ASWJ, ianya tidak menjadi soal, kerana dalil yang diyakini ada, bermakna persoalan akal tidak lagi relevan.Kata al-Quran, akal dan hati amat penting untuk memahami Islam;“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk Neraka Jahannam banyak dari jin dan manusia yang mempunyai hati (tetapi) tidak mahu memahami/mengerti/berfikir dengannya, dan yang mempunyai mata (tetapi) tidak mahu melihat dengannya dan yang mempunyai telinga (tetapi) tidak mahu mendengar dengannya; mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi; mereka itulah orang-orang yang lalai” – Surah Al A’raf (179).Rasulullah saw mengajar kita bahawa setiap pancaindera kita akan dipertanggungjawabkan atas perbuatan kita, maka oleh itu umat Islam perlu jelas dengan apa yang dikerjakan lebih-lebih lagi yang mengaitkan nama Tuhan dan Rasul-Nya.“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak tahu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan disoal (diminta pertanggung jawaban)” (al-Isra’:36).Sesuatu yang perlu kita sedari ialah ritual Hajar Aswad telah menjadi antara salah satu sebab Islam dipandang rendah oleh sebahagian orang kerana dilihat mencermin praktik paganisme. Apakah praktik yang dibicarakan itu sebenarnya mengkhusus kepada ajaran Islam menurut ramuan pemahaman kaum Arab serta tidak ada kena-mengena dengan ajaran Islam yang dibawa Nabi saw? Ini sesuatu yang perlu difikirkan dan dipertanyakan secara jujur kepada akal dan hati umat Islam.
Jawapannya kelak akan menjadi kesedaran akal dan hati dalam penerimaan atau penolakan ritual Hajar Aswad sebagai sesuatu yang dicontohkan dari Nabi saw dalam meyampaikan Islam. Jawapan itu juga akan menjadi justifikasi pancaindera kita di hadapan Allah kelak.Sepanjang pengalaman penulis sendiri, beberapa orang rakan dari kalangan ASWJ pernah menyuarakan kejanggalan mereka dengan ritual Hajar Aswad, tetapi mereka tidak berani meluahkannya secara tegas kerana sudah diluluskan oleh Ulama’-ulama’ ASWJ, dan tambahan pula mereka tidak berani mengambil risiko yang boleh menyebabkan mereka tergolong sebagai penolak sunnah seandainya hadis-hadis Hajar Aswad sememangnya benar sebagaimana diiktiraf ulama Hadis.Baru-baru ini, dalam konteks pembicaraan yang sama bersama seorang rakan, penulis telah mengutip kata-kata hikmah Galileo sebagai penutup perbualan, dan rakan penulis telah menyambutnya dengan sebuah senyuman yang penuh bermakna.Kata Galileo; “I do not feel obliged to believe that the same God who endowed us with sense, reason and intellect, had intended for us to forgo their use”-------------------------------------------------------------------------------Pandangan artikel ini hanya merupakan pemahaman penulis berdasarkan rujukan-rujukan yang di beri di atas. Setiap perbezaan pendapat adalah lumrah dalam pencarian ilmu dan kita perlu menghormatinya.-------------------------------------------------------------------------------DEEN SALIH, 15 Mac 2008.
Posted by pemikirislam at 11:49 AM 0 comments Links to this post
Labels: , , , , , , ,
Tuesday, February 19, 2008

MENGADILI POLEMIK KAUM ‘MUDA’ DAN ‘TUA’ MENURUT PERSPEKTIF AL-QURAN DAN SEJARAH

Tajdid pemikiran Islam yang dilaung-laungkan di Negara kita pada hari ini bukanlah suatu reformasi pemikiran yang bersifat progresif, sebaliknya ia adalah produk kitaran zaman lampau yang lebih banyak berlegar-legar di dalam zon polemik kaum Muda dan kaum Tua. Isu-isu yang diperdebatkan dua belas tahun yang lalu masih saja hangat diperdebatkan sehingga ke hari ini. Ia seolah-olah tidak akan hilang ‘serinya’ walaupun ditelan masa. Dan selama itu juga kekreatifan dan ketajaman minda umat Islam terkunci dalam zon polemik pemikiran kaum Muda dan Tua.Pembukaan tahun 2008 di Negara kita juga dimulai dengan serangan sengit terhadap Mufti Perlis yang dikaitkan dengan Kaum Muda atau Wahabi, iaitu Dr Muhammad Asri Zainal Abidin oleh pengikut Syeikh Abdullah al-Harari. Peristiwa ini mengembalikan ingatan penulis pada 10-12 tahun yang lalu dimana senario yang sama berlaku ketika itu. Isu-isu ‘Kaum Muda-Tua’ seperti penolakan bermazhab, sifat 20, bid’ah, kewujudan Tuhan tidak bertempat (dan seumpamanya) lebih hangat diperdebatkan berbanding hari ini.Pada waktu itu, khutbah-khutbah Jumaat di sebahagian masjid diisi dengan peringatan terhadap bahayanya ajaran Kaum Muda atau lebih popular digelar Wahabi. Nama-nama seperti Dato’ Harun Din dan Dato’ Ismail Kamus menjadi ‘tonggak kekuatan’ Kaum Tua, dan pada masa yang sama nama-nama seperti (antaranya) Ust Abdullah Yassin, Ust Zainal Abidin Zam-Zam serta Ust Hussein Yee (yang amat penulis hormati dan merupakan guru penulis dahulu) menjadi rujukan Kaum Muda.Penulis yakin 500 tahun mendatang polemik ini masih tetap akan segar diperselisihkan dikalangan kaum muslimin. Ini kerana ia mempunyai akar sejarah yang amat panjang, jauh ke belakang menghubungkan kita kepada zaman semasa peralihan kuasa empayar Islam dari tangan Umayyah ke tangan Abbasiyah.MENGIMBAU KEMBALI SEJARAH ISLAMKetika Khalifah Umar al-Khattab menegakkan empayar Islam di tanah jajahan Parsi pada 642 M dengan membawa slogan; ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri kepada Allah’, majoriti rakyat Parsi (golongan bawahan) menerimanya dengan tangan terbuka kerana bagi mereka ia bererti Tanah Parsi akan kembali bersinar dengan cahaya ‘keamanan, keadilan dan kesejahteraan’, iaitu Islam. Apabila ‘Kalimah Allah’ ditegakkan dibumi Parsi, maka secara tidak langsung ia bermakna penghapusan diskriminasi etnik/kaum, penindasan, kezaliman dan ketidakadilan terhadap rakyat kebanyakan. Hasilnya Islam diterima ramai.AGAMA PENDUDUK PARSISebelum Islam, agama rasmi penduduk tanah Parsi di bawah pemerintahan Sassanid ialah Zoroasterinism - yang mempunyai banyak persamaan pula dengan agama penduduk di Lembah Indus (Afghanistan-Pakistan-India Utara) iaitu agama Vedik. Kitab Zend Avesta mempunyai persamaan dengan Rig Veda.Agama Vedik dan Agama Parsi saling mempengaruhi antara satu sama lain. Ahli sejarah Parsi berpendapat agama Vedik adalah produk pengaruh Parsi, manakala pada masa yang sama begitu pula juga pendapat historian agama Vedik. Perbezaan pendapat ini mungkin boleh terlerai jika dihubungkan pada keterikatan terhadap keturunan Aryan. Dalam satu penemuan arkeologi di Naqsh-i-Rustam, Iran, terdapat satu tulisan pada batu yang dihubungkan kepada Maharaja Empayar Parsi pada abad ke5 SM, iaitu Darius (Darayavayush). Terjemahannya bertulis; ‘I Daries, the great King, The King of Kings, A Parsi, the son of a Parsi, an Aryan of Aryan family’.Apabila Islam ‘membedah’ ajaran Zoroasterinism (agama Majusi), hanya yang ‘bengkok’ diluruskan. Praktik-praktik kehidupan atau adat resam bangsa Parsi yang tidak menyalahi Kitabullah (dan fitrah kemanusiaan) dikekalkan kerana Islam tidak pernah berniat untuk mengubah identiti sesebuah bangsa, melainkan bertujuan membawa bangsa tersebut kepada kehidupan yang aman dan sejahtera iaitu sebagaimana jalan-Nya Yang Satu.PERALIHAN KUASA UMAYYAH KE ABBASIYAH – Arabism ke ParsinismPemerintahan Umayyah selepas zaman para Sahabat telah menyaksikan perubahan pada prinsip ‘kesamaan taraf’ yang dibina Umar al-Khattab. Kaum Muslim Arab telah mengangkat statusnya lebih tinggi dari kaum Muslim Ajam (khususnya Parsi). Perbezaan taraf ini telah menimbulkan ketidakpuashatian kepada rakyat berbangsa Parsi, lebih-lebih lagi oleh kaum elit yang sebelum ini terpaksa melepaskan ‘kekayaan dan kekuasaan’ kepada kaum Arab dibumi mereka sendiri.Apabila pengaruh kekuasaan Dinasti Umayyah merosot, bangsa Parsi dengan dipimpin Abu Muslim Khurasani memberi sokongan kepada Bani Abbasiyyah untuk merebut kuasa.Antara tindakan popular yang mendapat sokongan rakyat (ajam) diambil Khalifah Abbasiyah setelah berkuasa ialah dengan memansuhkan keistimewaan kaum Arab dan mengembalikan semua persamaan taraf sebagaimana diperkenalkan Khalifah Umar ra. Langkah ini sudah tentunya pula tidak popular dan tidak senangi oleh sebahagian kaum Arab (khususnya kaum elit).
Kejatuhan Dinasti Umayyah dan kebangkitan Dinasti Abbasiyah pada 750 M dengan telah memberi laluan luas kepada pengaruh Parsi untuk bertapak kukuh dalam pemerintahan dan pentadbiran Negara, yang dahulunya agak sulit terlaksana. Pegawai-pegawai kerajaan sebahagian besarnya terdiri dari orang-orang Parsi. Misalnya kaum Baramikah yang telah menjadi menteri dan wazir pada pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid.
Pengaruh Parsi mencapai kemuncaknya pada zaman pemerintahan Khalifah al-Hadi, Harun al-Rashid dan al-Ma’mum. Pada waktu itu, hari kebesaran Parsi yang dulunya tidak diraikan seperti perayaan ‘Nowruz’ dan ‘Mehrigan’ mula disambut besar-besaran, malah fesyen pemakaian dan makanan juga sudah mula menyerupai Parsi.Sebagaimana lumrah, apabila pengaruh Parsi bertambah kuat dalam administrasi kerajaan, pengaruh Arab mula beransur pudar. Pendekatan Kaum Arab mempraktik Islam telah diganti dengan pendekatan Kaum Parsi mengamalkan Islam. Arabism perlahan-lahan diserap masuk ke dalam Parsinism.Keterbukaan penguasa Abbasiyah terhadap terhadap kemasukan pemikiran-pemikiran ‘asing’ seperti Parsi, India, Yunani dan Rom telah menyaksikan penterjemahan ekstensif pelbagai kitab-kitab ‘asing’ khususnya kitab Parsi lama ke dalam bahasa Arab. Secara tidak langsung pemikiran falsafah dan tradisi adat resam serta keagamaan Persia dipindah masuk ke dalam ideologi kaum Arab.Ibnu Halali Askari dalam Divan al-Ma’ani menulis; ‘Sebahagian pemikir-pemikir Parsi selepas menguasai bahasa Arab, bertindak menterjemah literatur-literatur Parsi serta menuangkan ideologi-ideologi sekitar terma-terma spiritual menurut kitab-kitab Parsi lama ke dalamnya. Secara tidak langsung ia telah mempengaruhi literatur, sains, syair serta vokabulari Arab’.Oleh kerana kurangnya pengaruh Arab di masa pemerintahan Abbasiyah, maka ideologi pro-Parsi (atau Ajam) lebih dominan memonopoli pentas pendidikan dan penulisan khususnya dalam bidang pemikiran agama.Kaum Arab (pro-Umayyah) apabila melihat Islam sebagaimana yang mereka fahami telah mula disampaikan melalui medium pemikiran-pemikiran ‘asing’ yang berbentuk falsafah-falsafah spiritual (mistik) dan rasionaliti dan tradisi adat resam Parsi (ajam), mereka membantah dan berusaha memeranginya. Semua perubahan pemikiran ini dilihat kaum Arab sebagai satu usaha ‘mendistorsi’ ajaran Islam dibawa Nabi saw kerana ‘tidak dikenal’ di zaman sahabat.Hasilnya sebahagian besar pemikiran ‘baru’ yang berkembang pada zaman Abbasiyah dipandang dengan penuh curiga oleh kaum pro-Arab. Pertembungan pemikiran pun berlaku dengan diwarnai politik kesukuan kaum (Arab-Parsi/Ajam).
GERAKAN WAHABISME
Pergeseran ini kemudiannya memuncak kembali di waktu kebangkitan Bani Saud dengan dukungan Muhammad bin Abdul Wahab. Pemikiran Islam bersifat hitam-putih, tanpa kompromi, rigid yang lebih kepada pemahaman ‘straight-forward’ telah memerangi pendekatan berwarna-warni yang bersifat kompromi dengan adat resam, mistik dan kepelbagaian pemikiran ‘asing’ dalam memahami Islam.
Implikasi gerakan Muhammad bin Abdul Wahab kemudiannya dirasai di benua-benua lain. Salah satunya Sumatera Barat. Penghijrahan sebahagian rakyat Sumatera Barat ke Semenanjung Tanah Melayu yang bemula seawal abad ke19 bukan saja disebabkan oleh peperangan terhadap penjajahan Belanda, tetapi juga akibat peperangan domestik agama yang dikenali dalam catatan sejarah sebagai ‘The Padri War’ atau ‘Perang Padri’ yang berlangsung selama lebih kurang 17 tahun (1816-1833).
Dua puak tempatan Muslim yang berbalah ini digelar penjajah sebagai ‘Kaum Putih’ (muda) yang dilabel ‘sekutu Wahabi Hijaz dari Sumatera’, dan ‘Kaum Hitam’ (tua) atau puak pro-adat.Pertembungan dua ideologi ini kemudiannya berjangkit ke Semenanjung Tanah Melayu dan bertahan diperdebatkan sehinggalah ke hari ini.MENDAMAIKAN KONFLIK DENGAN KESEDARAN AL-QURAN DAN SEJARAHSecara ringkasnya apa yang kita faham hari ini sebagai Kaum Muda-Tua sebenarnya mewakili pemikiran pro-Arab dan pro-Parsi. Pemikiran pro-Arab sudah semestinya lebih dekat dengan Nabi saw, tetapi telah kehilangan ‘kreativiti’ sebagaimana yang dimiliki pemikiran pro-Parsi. Pada masa yang sama elemen ‘akurasi’ fakta-fakta yang ditekankan kaum Muda bagi pemurnian sunnah Nabi saw, ‘diabaikan’ pula oleh kaum Tua.Kaum Muda mempunyai akurasi manakala kaum Tua memiliki kreativiti. Sayangnya dua elemen ini tidak dapat bergabung dalam pemikiran Islam kerana sikap defensif yang melampau dipraktikkan oleh golongan ekstrim dari kedua belah pihak. Hanya golongan muslim moderat memperolehi manafaat dari pertembungan dua ideologi ini.Impak perpecahan akibat ketegangan ‘asabiyah’ Arab-Parsi dengan ditambah kekerasan gerakan Wahabi suatu masa dulu seolah-olah ‘membayangi’ polemik pemikiran kaum Muda-Tua pada hari ini. Kedua-dua pihak telah menutup minda dengan bersikap terlalu defensif dalam menerima sebarang pemikiran yang berbeza dengan pemahaman kelompok masing-masing.Efek sikap defensif kedua-dua belah pihak telah merugikan pemikiran umat Islam. Minda pemikiran muslimin menjadi takut untuk mengasah ketajaman akal menjaungkaui pemikiran-pemikiran masa lalu. Kita seolah-olah lupa Rasulullah saw telah mewasiatkan kepada kita petunjuk agung iaitu al-Quran sebagai rujukan utama dalam menghadapi perselisihan pendapat. Kita juga kurang memberi perhatian kepada sejarah Islam secara kritis.Penghayatan terhadap al-Quran dan sejarah Islam adalah satu-satunya cara untuk ‘mendamaikan kalau’ tidak ‘menyelesaikan’ perang pemikiran kaum Muda-Tua yang telah berlangsung selama beratus-ratus tahun.PENGARUH PARSI DALAM KEPERCAYAAN UMAT ISLAMKaum Tua perlu akur sememangnya terdapat elemen-elemen praktik ritual keagamaan Parsi pada pemahaman Islam mereka. Sebagai contoh, antara pengaruh-pengaruh pro-Parsi yang masih kekal dalam gaya penyampaian pendidikan agama pada hari ini di kalangan kaum Muslimin (termasuk kaum Muda secara sedar ataupun tidak) ialah;
1) Gaya penyampaian kisah Israk Mikraj (termasuk perjalanan ke syurga dan neraka) – ia mirip kisah yang terdapat dalam kitab Pahlavi, ‘Arta Viraf Namak’ yang ditulis 400 tahun sebelum Hijrah.2) Cahaya (Hakikat) Muhammad seperti yang tercatat dalam kitab Qisas al-Anbiya’ – mirip sebagaimana dalam Kitab Parsi kuno, ‘Ormazd’.3) ‘Titian Siratul-Mustaqim’ yang halus seperti rambut dan tajam seperti pedang, yang menjadi perantaraan antara seseorang itu untuk melangkah ke syurga atau jatuh ke dalam neraka - bermodelkan kisah dalam kitab Vendidad berlatarbelakangkan ‘Jambatan Chinvat’ (al-Sirath) dan Mithra, sang Hakim. Kisah lebih kurang serupa juga terdapat dalam agama Mesir kuno (‘The Belief about the Future of the Soul among the Ancient Egyptians and Iranians’, Jivanji Jamshedji Modi).4) Pengaruh ritual keagamaan terhadap kematian, seperti talkin atau bacaan surah Yassin pada mayat - menyerupai praktik ritual adat Parsi lama yang telah melalui ‘pengislaman’ (rujuk kitab Vendidad). Pembacaan kitab Zend-Avesta di hadapan mayat telah diganti dengan bacaan al-Quran.5) Salah satu kepercayaan takhayul mengenai kematian dalam agama Parsi yang telah mempengaruhi literatur hadis ialah; ‘Bunuhlah anjing hitam terus yang mempunyai dua tumpuk putih di sebelah atas matanya, karena ia itu syaitan’. (HR Ahmad dan Muslim). Ini adalah kerana dalam agama Parsi lama, ritual mengurus kematian kebiasaannya melibatkan anjing (hitam) yang mempunyai dua tompok putih di atas ke dua belah mata. Ia dipanggil ‘Sagdid’ (the sight of a dog) atau ‘Chathru-chashma’ (four-eyed dog) dalam Avesta (juga konsep yang sama dalam Rig-Veda). Anjing ini diletakkan berhampiran mayat kerana dipercayai boleh melihat ruh yang keluar dari badan, samada ia ke syurga atau sebaliknya, ataupun untuk memastikan ruh telah benar-benar berpisah dari jasad (Mon. Williams, Indian Wisdom).6) Mayat dalam kubur dikunjungi malaikat tampan jika berbuat pahala, dan jika banyak dosa, dikunjungi pula oleh malaikat yang menggerunkan – mirip catatan yang yang terdapat dalam ‘Hadokht Nask’ (rujuk Vide Haug's Book of Arda Viraf).
Lain-lain persamaan tradisi juga boleh di temui dalam adat resam Kaum Parsi seperti dalam menghadapi kelahiran (nyalaan pelita, pantang-larang 40 hari), perkahwinan serta kenduri kematian 40/100 hari dan seumpamanya ( rujuk The Religious Ceremonies & Customs of the Parsees, Jivanji Jamshedji Modi).Tokoh Islam dari Mesir, Dr. Ahmad Amin berpendapat pengaruh ‘Adab’ (literatur) Parsi menyusup masuk ke dalam ‘Adab’ (literatur) Arab antaranya melalui kata-kata moral atau hikmah Parsi yang diguna untuk mengajar al-Quran, Islam dan falsafah kehidupan. Hasan al-Basri misalnya telah banyak menterjemah kata-kata falsafi raja-raja Persia/Iran ke dalam bahasa Arab di zaman Umayyah. Begitu pula banyaknya ‘axioms’ dan ‘maxims’ Persia diterjemah oleh Ibnu Qutaibah (Ayun-al-Akhbar), Tartush (Sirajul Muluk), Jahiz (Kitab al-Taj) dan Ibnu Muqaffa (Kitab al-Adab al-Kabir). Kitab-kitab ini kemudiannya melalui penterjemahan ke dalam pelbagai bahasa termasuklah Melayu lama yang pada hari ini sebahagiannya kita kenali sebagai kitab-kitab Kuning (rujuk Partowi Iran, Ahmad Amin).Dengan kesedaran sejarah juga kita boleh mengesan sentimen Arab-Parsi dari hadis-hadis berikut;1) ‘Bezakanlah kalian dengan orang-orang Majusi, karena sesungguhnya mereka (orang-orang Majusi) memendekkan jenggot dan memanjangkan kumisnya’, ataupun; ‘Barangsiapa yang tidak memotong kumisnya maka bukan termasuk golongan kami’ (Dishahihkan oleh At-Tirmidzi).2) Sebagai lawannya - ‘Seandainya agama itu berada di bintang, nescaya salah seorang dari lelaki Parsi atau pemuda-pemuda Parsi akan pergi ke sana untuk mendapatkannya’ (Muslim).Melalui kesedaran al-Quran dan sunnah Nabi yang sejalan dengannya, kita akan dapati Rasulullah saw tidak pernah menggambarkan ‘imej’ sesuatu bangsa sebagai suatu kelebihan dalam menghayati Islam, sebaliknya baginda meletakkan ukuran taqwa sebagai identiti seorang muslim;‘Wahai umat manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan perempuan dan Kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku puak, supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang lebih takwanya di antara kamu, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mendalam PengetahuanNya’ (al-Hujurat:13).Sabda Nabi saw; ‘Tidak ada kelebihan (keistimewaan) bagi bangsa Arab atas bangsa Ajam (yang bukan Arab) dan tiada pula bagi bangsa Ajam atas bangsa Arab dan tiada pula bagi bangsa kulit putih atas bangsa kulit hitam dan tiada pula bagi bangsa kulit hitam atas bangsa kulit putih, kecuali dengan taqwa’.Muttaqii menurut Muhammad Asad bermaksud ‘deeply conscious people to God’ (Message of the Quran), ataupun menurut Kamus Arab (Lane’s Lexicon) – ‘those who is regardful of his duty towards human beings and God’. Definasi taqwa menurut al-Quran menyatukan pelbagai lapisan (bangsa) manusia di bawah satu bumbung iaitu Islam.
Rasulullah saw mengajar kita ‘ketinggian’ seseorang itu bergantung kepada takwanya kepada Allah tanpa mengira bangsa. Islam bersifat universal. Samada Islam didekati melalui pemikiran pro-Arab, pro-Parsi mahupun pro-Yunani tidaklah menjadi sebab ketinggian Islamnya seseorang, tetapi yang dilihat Allah ialah halatuju pemikiran itu, apakah ianya bergerak di landasan-Nya yang SATU, yang menurut Sunnah-Nya akan membawa kepada kemakmuran dan kesejahteraan hidup, ataupun ia melencong menurut ‘landasan pelbagai Nafsu’ yang menurut Sunnah-Nya juga akan berakhir dengan kerugian dan kemusnahan terhadap diri mahupun makhluk Allah yang lain.
IQRA AL-QURAN – Tajdid Sebenar Pemikiran IslamSeandainya al-Quran dijadikan sebagai pembenar,pembatal ataupun pengadil dalam menangani konflik pemikiran di antara di kaum Tua dan Muda, menurut penulis banyak isu-isu yang dipersilisih dapat didamaikan. Asalkan saja kedua belah pihak mempraktikkan prinsip Iqra al-Quran yang sebenarnya iaitu baca, belajar dan faham (praktik), bukan terhenti setakat baca. Maknanya, jika apa-apa yang kita dapati dari al-Quran menyalahi paham kebiasaan, maka kita harus beri laluan kepada kritikan al-Quran memperbetulkan kita. Walaupun ianya hadis sahih, kerana kita perlu ingat hadis adalah tertakluk kepada kelulusan al-Quran, bukannya manusia. Segala pemikiran manusia disekitar hadis perlu mematuhi garis panduan yang ditetapkan oleh pemikiran al-Quran.Kita ambil satu contoh isu perselisihan kaum Muda-Tua yang diberi pendekatan al-Quran, iaitu pembacaan surah Yassin samada di kuburan atau pada tiap-tiap malam Jumaat yang sememangnya tidak pernah dikenal pada zaman Nabi dan para sahabat.Pendekatan al-Quran akan membawa kita kepada menghargai kebaikan dari praktik ini yang selama ini berperanan dalam menjaga perpaduan dan keutuhan masyarakat. Akan tetapi tetapi jika surah Yassin yang dibaca setiap malam Jumaat atau dikuburan itu hanya kekal sebagai alunan melodi bahasa Arab tanpa difahami maksudnya, maka ia sudah tidak menepati garis panduan al-Quran. Kita bukan setakat hanya wajib berulang-ulang ‘mengaji’ al-Quran tetapi juga wajib mengkajinya menurut kemampuan yang ada.Kenapa surah Yassin amat penting oleh orang-orang dahulu? Jawapannya terletak pada pengertian nama surah itu sendiri – ‘Ya-Seen’ yang bermaksud ‘Wahai Insan!’ atau ‘O Human being!’ (rujuk Message of the Quran, Muhammad Asad).‘Yaa Siin (Hai Manusia!). Demi Al-Quran yang mengandungi hikmat-hikmat dan kebenaran yang tetap kukuh, Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad adalah seorang Rasul) dari Rasul-rasul yang telah diutus, Yang tetap di atas jalan yang lurus (agama Islam). Al-Quran itu, diturunkan oleh Allah Yang Maha Kuasa, lagi Maha Mengasihani, Supaya engkau memberi peringatan dan amaran kepada kaum yang datuk neneknya telah lama tidak diberikan peringatan dan amaran; sebab itulah mereka lalai’ (Yassin:1-6).‘Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang yang mati dan Kami tuliskan segala yang mereka telah kerjakan serta segala kesan perkataan dan perbuatan yang mereka tinggalkan dan (ingatlah) tiap-tiap sesuatu kami catitkan satu persatu dalam Kitab yang jelas nyata’ (Yassin:12).‘Maka pada hari itu, tidak ada seseorang yang akan dianiaya sedikitpun dan kamu pula tidak akan dibalas melainkan menurut amal yang kamu telah kerjakan’ (Yassin:54).Penulis berpendapat, orang-orang dahulu menemui pengajaran-pengajaran penting berhubung ‘keterikatan’ makhluk dengan Tuhan. Pada hari ini amalan ini lebih efektif dan tepat sekiranya bahasa ‘perantaraan’ yang diguna bagi menyampaikan surah Yassin adalah bahasa kaum (majoriti) masyarakat Islam yang datang berkumpul. Impaknya akan lebih berkesan.Akan tetapi jika dikekalkan pada pembacaan al-Quran dalam bahasa Arab yang rata-ratanya tidak difahami oleh muslim kebanyakan, maka tradisi pembacaan Yassin pada mayat hanya akan kekal sebagai tradisi adat resam semata-mata. Jika sebaliknya, maka ia menjadi suatu bid’ah terpuji yang sudah tentunya sejalan dengan pesan-pesan al-Quran, iaitu menghidup, menyeru dan menyampaikan ayat-ayatnya.Penulis kira pendekatan sebegini dalam menangani praktik-praktik yang dikatakan bid’ah kerana tidak dikenal pada zaman Nabi saw adalah lebih harmonis dan sejalan dengan petunjuk al-Quran, iaitu dengan kebijaksanaan.Tajdid pemikiran Islam yang perlu diberi perhatian oleh Kaum Muda dan Tua pada hari ini ialah ‘Iqra al-Quran’. Para Ulama dan pemimpin perlu menjadikannya sebagai prioriti dalam mendidik umat Islam, kerana hanya inilah cara untuk pemikiran ummah berkembang dengan sihat tanpa sikap prejudis.‘Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia menciptakan manusia dari sebuku darah beku; Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah; Yang mengajar manusia melalui pena dan tulisan; Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya’ (al-Alaq’:1-5).Proses baca-belajar-faham (iqra’) al-Quran adalah suatu proses tanpa henti sebagaimana perjalanan hidup kita. Berakhirnya ia seharusnya bermakna berakhirnya kewujudan kita di dunia. Akan tetapi apakah begitu keadaannya dalam dunia muslim pada hari ini? Apakah kemampuan pengaplikasian iqra’ yang membantu kita mencapai kematangan dalam mengenalpasti kepentingan hidup duniawi sama dengan yang diterapkan kepada pemahaman al-Quran? Ataupun Iqra’ terhadap al-Quran hanya terhenti setakat baca..Kita tidak perlu berbangga jika kita pernah ‘mengkhatam’ al-Quran lebih dari sekali di waktu muda seandainya pendekatan kita terhadap al-Quran pada hari ini masih tetap sama dengan dulu. Kita hanya boleh berbangga jika kita mula berusaha mengimbangi sebagaimana kematangan pemikiran duniawi terhadap pemahaman al-Quran. Andainya minat atau bidang kita adalah sains, ataupun sejarah, matematik, perubatan, politik, biologi, mekanikal, agrikultur, komunikasi dan mahupun yang lain-lain - apa yang perlu dilakukan ialah terapkan kecerdasan akal sepertimana dituangkan kedalam bidang-bidang ini ke dalam penghayatan Al-Quran.Para Ulama perlu senantiasa mengingatkan diri sendiri dan masyarakat Islam bahawa Al-Quran adalah sebuah ‘Kitab Hidup’, dan mengenal Islam melaluinya akan membawa umat Islam kepada pemikiran universal. Tidak ada siapa yang berhak mendakwa tafsirannya paling betul mewakili Islam. Mengikat makna al-Quran hanya pada satu-satu masa adalah seperti cuba ‘mematikan’ Kitab Allah yang hidup, sekaligus mencacatkan keuniversalan al-Quran. Jika keadaan ini berlaku, kita dipanggil al-Quran sebagai ketinggalan zaman – sebagaimana polemik kaum Muda-Tua yang tidak pernah ada kesudahan.Umat Islam samada dari aliran kaum Muda mahupun Tua perlu melihat Islam sebagaimana dilihat Dr.Thomas Ballantine Irving (al-Hajj Ta’lim Ali). Dr.Irving adalah salah seorang pengkaji al-Quran. Dalam proses penghayatannya beliau menyedari bahawa beliau sememangnya seorang muslim. Apabila Dr.Irving disoal mengenai keislamannya dalam satu sesi temuramah pada tahun 1992, beliau berkata;“I am an ‘old timer’ because I became a Muslim (never changed, never was anything else, just as the prophet says) in the 1930’s at Toronto. Please don’t call me a ‘convert’ because that implies change and what did I change from? I ‘became’ a Muslim only in the sense that at a point in time I realized that was what I was…”Sesuatu yang perlu disedari ialah kita tidak akan dapat pernah ‘mengkhatam’ al-Quran kerana ianya adalah ‘Kitab yang Hidup’. Kata Dr. Irving;“The Quran is literally untranslatable: each time one returns to it, he finds new meanings and fresh ways of interpreting it; the messages are endless for it is a living Book”.Para ulama harus mengingatkan generasi muda atau orang awam muslim supaya mula membetulkan fokus ke arah penghayatan al-Quran sebelum mula ‘menyibukkan’ diri ke dalam zon polemik Kaum Muda-Tua. Langkah ini penting bagi kematangan dan ketajaman pemikiran dalam ‘mengadili’ apa jua pemikiran yang dianggap bertentangan dengan kebiasaan.Pesan Syaikh Muhammad Abduh;‘Ketika sejarah menunjukkan bahawa Al-Quran diturunkan untuk berdialog kepada masyarakat Arab yang “ummiyin” (awam) bukan bermakna ianya khas tertuju kepada mereka sahaja, tetapi bersifat umum, untuk setiap waktu dan generasi. Dan oleh sebab itu adalah menjadi kewajiban bagi setiap orang tidak kira cerdik atau kurang cerdik untuk memahami ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan kemampuan masing-masing’ (Fatihah Al-Kitab, Abduh).Dengan etika (akhlak) al-Quran, apa jua perselisihan pandangan akan bertemu dalam suasana positif dan progresif yang menyumbang kepada pemikiran Islam. Pertembungan pemikiran kaum Muda-Tua perlu terikat kepada foundasi Islam yang terpenting, iaitu akhlak. Tanpa pendekatan akhlak, kita akan terus menerus terperangkap dalam polemik pro-Arab dan pro-Parsi, dan ini adalah sesuatu yang merugikan pemikiran ummah.
Apabila Nabi saw ditanya seorang lelaki mengenai pengertian agama, baginda menjawab pendek, “Akhlak yang baik”. Kemudian lelaki itu bertanya sekali lagi, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?”. Baginda menjawab serupa, “Akhlak yang baik”. Lelaki itu mengulangi lagi pertanyaan serupa dan Rasulullah tetap menjawab sama. Bila ia bertanya lagi, Nabi sambil menoleh kepadanya bersabda, “Belum jugakah engkau mengerti? Agama itu ialah akhlak yang baik. Sebagai contoh, janganlah engkau marah” (Al-Targhib wa Al-Tarhib).