Selasa, 28 Agustus 2012

Perang dalam Kitab Kuning


ETIKA BERPERANG
(Kajian Perang dalam Kitab Kuning Pesantren)

Karya Tulis diajukan dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Wahid Hasyim  Semarang bekerja sama dengan International Comittee of the Red Cross (ICRC) Divisi Regional Indonesia dan Pimpinan Wilayah Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama Wilayah Jawa Tengah, tahun 2012.

Oleh 
Mawarda Alistinafia Ningtyas
 (Santriwati Pesantren Yanabi’ul ‘Ulum war-Rahmah, siswa Kelas Unggulan MA NU Banat Kudus)

 
A.  Pendahuluan
Sumber belajar bagi pengajaran agama Islam yang muncul di pesantren sebagai tradisi agung (great tradition) di Indonesia lazim disebut dengan Kitab Kuning. Pada masa sebelum ada pendidikan formal, Kitab kuning dipelajari melalui halaqah yang diajarkan di surau-surau oleh para kiai untuk memperluas penyebaran agama Islam.
Kitab Kuning sebagai buku  keagamaan yang ditulis dalam bahasa Arab sangat  kuat  pengaruhnya terhadap pengembangan pendidikan Islam bagi generasi muda sebagai generasi penerus perjuangan Islam dalam membela dan menegakkan diplomasi Islam di atas dunia ini, maka Kitab Kuning merupakan kitab yang sangat penting untuk dipelajari bagi generasi muda Islam untuk mewujudkan generasi yang betul-betul ta’at dalam menjalankan perintah Allâh dan menjauhkan larangana-Nya.
Kitab Kuning merupakan pelajaran pokok pada Pesantren untuk megembangkan pengajaran agama Islam untuk menambahkan dan memperdalam pemikiran bagi generasi yang akan datang, karena Kitab Kuning merupakan penopang utama tradisi keilmuan Islam, dan sebagai penunjang dalam pendidikan Islam.
Para sarjana Islam Indonesia mengambil Kitab Kuning sebagai buku referensi untuk menambah wawasan dan cakrawala berpikir, karena di dalamnya termuat berbagai persoalan manusia, baik hubungannya dengan Tuhan, dengan lingkungan, maupun dengan sesama manusia termasuk mengenai hal perang.
 
Karya singkat ini ditulis dengan mengacu pada masalah pokok, yaitu:
a.    Bagaimana konsep perang dalam Kitab Kuning Pesantren? Dan
b.    Bagaimana etika berperang dalam kajian Kitab Kuning di pesantren?

Adapun tujuan karya tulis singkat ini adalah:
a.    Untuk memaparkan konsep perang secara singkat yang termuat dalam Kitab Kuning Pesantren;
b.    Untuk mendeskripsikan etika berperang dalam kajian Kitab Kuning di pesantren.

3.    Sistematika Penulisan
Tulisan singkat ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
A.    Pendahuluan; yang memaparkan latarbelakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.
B.     Perang dalam Kitab Kuning Pesantren; yang mendiskripsikan secara teoretik tentang Kitab Kuning Pesantren, Perang: antara Qital dan Jihad, Posisi Tema Perang dalam Kajian Kitab Kuning, dan Hukum Perang dalam Kitab Kuning.
C.     Simpulan dan Penutup



Kitab Kuning Pesantren
Kitab Kuning dan Pesantren merupakan dua sisi yang tidak terpisahkan dalam keping pendidikan Islam di Indonesia. Sejak sejarah awal berdirinya, pesantren dan literatur klasik (al-kutub al-mutaqaddimah) sulit dipisahkan. Bahkan dapat dinilai tidak absah jika ada pesantren tanpa keberadaan dan  pengajaran Kitab Kuning karena Kitab Kuning merupakan salah satu elemen utama dalam pesantren. Assumsi ini dapat diketahui melalui dua karya orientalis yang monumental, yaitu "Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa" (judul aslinya The Religion of Java) karya Clifford Geertz (seorang ahli antropologi dari Amerika Serikat) dan buku yang berjudul "Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesiakarya Martin van Bruinessen (peneliti Belanda yang pernah bekerja di LIPI).
Kitab Kuning merupakan istilah (term) yang terdiri dari dua kata, yaitu kitab dan kuning. Kitab adalah  karya tulis, baik singkat maupun luas kajiannya, yang ditulis dengan menggunakan bahasa al-Qur`ân (bahasa Arab fushhah). Sedangkan “kuning” merupakan warna yang dinisbatkan pada kertas yang berwarna kuning.
Sebagian masyarakat menyebutnya “Kitab Turats”, Kitab Gundul , ada pula yg menyebutnya Kitab Klasik atau Kitab Kuno (al-kutub al-mutaqaddimah) sebagai lawan dari istilah kitab-kitab kontemporer (al-kutub al-`ashriyah).
Tiga kategori KK, yaitu:
a)    kitab yang ditulis oleh ‘ulama-ulama asing (terdahulu), tetapi secara berkesinambungan menjadi referensi yang dipedomani oleh para ‘ulama Indonesia;
b)   kitab yang ditulis oleh ‘ulama Indonesia sebagai karya tulis yang independen; dan
c)    kitab yang ditulis oleh ‘ulama Indonesia sebagai terjemah atau komentar (syarh) atas kitab karya ‘ulama asing.

KK karya bangsa Indonesia dari abad 19 M. yang masih berlaku hingga kini antara lain adalah karya-karya dari Syaikh Nawawi al-Bantani (1813-1879), K. Ahmad Rifa’i Kalisalak (1786-1870), Syaikh Ahmad Khatib Sambas (1803-1875); dan dari abad 20 adalah seperti karya K. Muhammad Shaleh Darat as-Samarani (w. 1903M.), Syaikh Ahmad Khathib al-Minangkabawi (1860-1916), Hadlaratus Syeikh A. Hasyim Asy’ari (lahir: 10 April 1875, wafat: 25 Juli 1947), K.H. Ali Ma’shum (1915-1989), dan Syeikh Muhammad Yasin al-Fadani (1917-1990) di bidang hadits.
KK sebagai kitab tradisional umumnya berisi ilmu-ilmu keislaman atau pelajaran-pelajaran agama Islam (dirasah islamiyyah), seperti fiqh, ‘aqidah, akhlaq/ tasawuf, tata bahasa Arab (`ilmu nahw dan `ilmu sharf), hadits, tafsir, `ulum al-Qur`ân, dan ilmu sosial dan kemasyarakatan (muamalah).
Adapun metode pengajaran KK ada dua, yaitu metode sorogan  dan  metode bandongan

Mayoritas dalam soal fiqh, mereka bermadzhab Syafi`i, meski mereka juga tetap mengakui keberadaan empat madzhab fiqh: Hanafi, Maliki, Syafi`i, Hambali. Karena itu, Kitab Kuning yang dikaji di pesantren kebanyakan adalah kitab-kitab karya para ‘ulama Syafi’iyah, mulai dari tingkat dasar, seperti Safinatun-Naja, Taqrib, dan Kifayatul Akhyar; tingkat menengah seperti Fathul Qarib, Fathul Wahhab, Fathul Mu’in, I’anatuth Thalibin, Hasyiyah Bajuri, dan Muhaddzab; hingga tingkat tinggi seperti Nihayatul Muhtaj, Hasyiyah Qalyubi wa Umairah, al-Muharrar, dan Majmu’ Syarh al-Muhaddzab. 

Menurut Zamakhsyari, pesantren adalah lembaga yang umumnya terdiri dari lima komponen, yaitu Kyai, Santri, Mesjid, pondokan, dan pengajian kitab kuning. 
Dengan demikian program “Pesantren Kilat” tidak dapat disebut sebagai pesantren secara terminologis.


Perang: antara Qital dan Jihad
Secara harfiah, kata qital (قتال) yang mengikuti bentuk empat huruf (ruba’i) yaitu qatala (قاتل) berarti perang, peperangan, dan berperang. Kata qital  dan berbagai bentuk derivasinya muncul 28 kali dalam al-Qur`ân, yaitu:
a.    Berupa kata kerja imperatif (fi’l amr) yang terdapat pada:
1)      surat al-Baqarah ayat 190
2)      surat Ali ‘Imran ayat 167
3)      surat an-Nisa` ayat 76
4)      surat at-Tawbah ayat 29 dan 123
b.    Berupa fi’l madli, yang terdapat pada:
1)      surat Ali ‘Imran ayat 146
2)      surat al-Ahzab ayat 20
c.    Berupa fi’l mudlari’, terdapat pada:
1)      surat al-Baqarah ayat 217 dan ayat 246 (disebut tiga kali)
2)      surat an-Nisa` ayat 75 dan ayat 76 (disebut dua kali)
3)      surat at-Tawbah ayat 111
4)      surat al-Hajj ayat 39 dalam bentuk fi’l majhul
5)      surat as-Shaff ayat 4
6)      surat al-Muzzammil ayat 20
d.   Berupa isim mashdar, terdapat pada:
1)   surat al-Baqarah ayat 216, ayat 217 (disebut dua kali), dan 246 (disebut dua kali)
2)   surat an-Nisa` ayat 77 (disebut dua kali)
3)   surat al-Anfal ayat 65
4)   surat al-Ahzab ayat 25
5)   surat Muhammad ayat 20

Kata qital dan derivasinya pada ayat-ayat tersebut, semuanya bermakna perang.

Adapun kata jihad (جهاد) secara harfiah berarti kesungguhan (jidd = جدّ) dan bersungguh-sungguh (ijtihad = اجتهاد ) dalam usaha, sebagaimana makna yang terdapat pada Surat al-‘Ankabut ayat 6:
وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ  ...
(Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya adalah untuk dirinya sendiri …)

Kata jihad  dalam maknanya tersebut terdapat pada beberapa ayat, yaitu dalam surat Ali ‘Imran ayat 142; surat at-Tawbah ayat 16, 19, 20, dan 88; surat an-Nahl ayat 110; dan surat al-‘Ankabut ayat 6 dan 69. Adapun kata jihad  dalam al-Qur`ân yang menunjukkan arti “perang” lebih sedikit jumlahnya, yaitu terdapat pada surat at-Tawbah ayat 73 dan surat at-Tahrim ayat 9.

Rasul Allâh saw. membedakan kedua istilah tersebut pada saat bersamaan. Jika dikatakan  berperang (qital) maka berarti mengandung  makna jihad, tetapi tidak sebaliknya, jika berjihad belum tentu berperang. 
Dalam  konteks ini patut disimak penjelasan Rasul Allâh saw. yang membedakan antara perang dan jihad. Ketika ditanya oleh Sayyidatuna ‘Aisyah ra. “Apakah wanita juga wajib berjihad?”, Nabi saw. menjawab:
نعم ، عليهن جهاد لا قتال فيه ، الحج والعمرة  (رواه ابن ماجه)

Dalam bebrapa referensi Kitab Kuning pesantren bidang fiqh, kajian tentang perang dikemas dalam topik Jihad, sebagaimana tersebut dalam kitab Syarh Taqrib Tawsyih, dan Tuhfah at-Thullab.   
Itu artinya adalah bahwa dalam Kitab Kuning kata Jihad dipahami sebagai perang. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kata jihad dan qital dalam al-Qur`ân (seperti teks ayat yang berbunyi “wa Jahidu …” = وجاهدوا ...) bisa menunjukkan  makna yang berbeda-beda, tetapi terkadang menunjukkan maksud yang sama, yaitu perintah berperang. Demikian pula dalam Kitab Kuning.
Perang pada masa nabi dibedakan menjadi dua kategori, yaitu perang (ghazwah = غزوة) yang dipimpin langsung oleh Rasul Allâh saw. yang terjadi sebanyak 26 kali dan penyerangan, penyergapan atau perang kecil (sariyah = سرية) yang dipimpin oleh seorang shahabat nabi dan terjadi sebanyak 25 kali.

Islam bukan agama yang disebarkan dengan cara perang, yang berarti bahwa Islam bukan agama perang atau agama pedang atau bahkan agama teroris sebagaimana yang terdapat pada pandangan para orientalis Barat. Namun demikian ummat sulit menghindarinya karena berbagai alasan.
Peperangan di dalam Islam terjadi karena beberapa faktor, antara lain adalah:
a.    mengusir musuh,
b.    menjaga dakwah,
c.    kebebasan menjalankan agama, serta
d.   mensucikan muka bumi dari thâghüt dan kezaliman-kezaliman.

Nilai-nilai ajaran seperti itulah yang diajarkan di pesantren dalam rangka membentuk karakter santri sebagai kader bangsa yang berorientasi pada pola hidup sederhana, memiliki solidaritas dan intergritas dalam berteman, berjiwa toleran (tasamuh = تسامح) dan pema’af, serta tetap besemangat dalam menegakkan kebenaran melalui program amar ma’ruf-nahi munkar dengan tetap menjaga kebersamaan dalam masyarakat.


Hukum Perang
Sub bahasan ini akan mengaji tema perang dalam sumber otoritas Islam (al-Qur`ân dan hadits), hukum berperang dalam KK, dan etika berperang dalam kajian KK pesantren.
Secara literal-tekstual, ayat tersebut mengandung perintah berperang, yang berarti perang adalah wajib, karena ayat tersebut dimulai dengan kata perintah (fi’l amar). Namun para mufassir secara arif menjelaskan mengenai ayat tersebut, bahwa perintah perang dalam Islam adalah berkenaan dengan upaya menegakkan kalimat Allâh (li I’la`i kalimatillâh = لإعلاء كلمة الله ) dan membela agama Allâh, bukan berorientasi pada keduniaan (world oriented). Itulah makna jihad  yang sesungguhnya. Oleh karena itu ummat Islam tidak boleh mencari musuh untuk berperang, dan tidak boleh memerangi orang yang tidak memeranginya.

Dengan demikian dapat dipahami pula bahwa jihad dalam al-Qur`ân yang pada konteks tertentu bisa bermakna perang di jalan Allâh (jihad fi sabil Allâh = الجهاد في سبيل الله), yaitu perang yang diridhai oleh Allâh, 


Penafsiran al-Khazin tersebut didasarkan pada hadits yang bersumber dari ibn ‘Abbas ra. bahwa Rasul Allâh saw. bersabda:
الجهاد واجب عليكم مع كل أمير براً كان أو فاجراً   (أخرجه أبو داود)
 

Dalam kitab Tuhfah at-Thullab ditegaskan bahwa orang-orang yang menyekutukan Allâh wajib diperangi hingga mengucapkan kalimah “Tidak ada Tuhan selaiin Allâh” (لآ إله إلا الله).
.......................................................................
 
Etika Berperang dalam Kajian Kitab Kuning
Beberapa sumber dari Kitab Kuning (terutama kitab tentang akhlaq dan fiqh) menjelaskan bahwa ummat Islam harus memperhatikan etika jika terlibat dalam peperangan. antara lain adalah:
1)   Prajurit tidak boleh membunuh musuh atau membalas; Setiap prajurit harus memiliki sikap sabar, menahan diri, tidak emosional, tidak menimbulkan fitnah, tidak pendendam, dan tidak mengadu domba.
Bersabar dalam berperang merupakan etika terbaik yang diterangkan secara tegas dalam surat al-Baqarah ayat 177:
.... وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ( وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَآءِ وَالضَّرَّآءِ وَحِينَ الْبَأْسِ 3 أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ( وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Menahan diri dan tidak emosional juga telah diajarkan oleh al-Qur`ân pada masa mana para shahabat Nabi saw. hendak melakukan pembalasan berkenaan dengan terbunuhnya paman Rasul Allâh (Hamzah bin Abdul Muthalib) pada perang Uhud, maka keinginan tersebut segera direlai oleh Allâh dengan diturunkan surat an-Nahl ayat 126:
Ayat yang diturunkan berkenaan peristiwa Hamzah dalam perang Uhud tersebut mengajarkan bahwa pembalasan yang dijatuhkan atas musuh hendaklah tidak melebihi dari siksaan yang ditimpakan atas ummat Islam. Tetapi sikap tidak emosional, tidak berkeinginan membalas, bersabar, dan menahan diri dalam berperang adalah lebih baik daripada melakukan pembalasan.
Ayat serupa yang mengajarkan manusia agar tidak melakukan pembalasan atau serangan balik dalam berperang, antara lain adalah surat al-Baqarah ayat 190:
Dalam konteks bersabar, al-Ghazali mengecam orang yang tidak bersabar atau mengumbar hawa nafsu emosional, karena yang dimaksud kuat menurut Islam bukan kekuatan fisik tetapi kuat dalam menahan marah. Al-Ghazali menambahkan, marah itu dapat merusak iman.
Tausiah al-Ghazali tersebut sesuai dengan hadits nabawi:
إن الغضب يفسد الامر كما يفسد الخل العسل
Menurut al-Ghazali, hadits tersebut bersanad dla’if.

2)   Berperilaku yang santun dan kasih sayang (rahmah), bersahabat dan solider (ukhuwwah), pemaaf dan toleran (tasamuh). Surat Ali ‘Imran ayat 134 mengisyaratkan kode etik dalam perang

Sikap pema’af dan toleran dalam berperang juga diisyaratkan dalam beberapa ayat tentang perintah bersabar, yaitu:
a)    Surat al-Jatsiyah ayat 14:

b)   Surat al-Muzzammil ayat 10
Adapun sikap santun, kasih sayang, dan bersahabat diperlukan untuk memperoleh simpati sekaligus empaty dari orang-orang yang lemah (musuh). Dengan cara inilah Nabi Muhammad megahdapi musuh hingga orang-orang kafir Mekkah berbondong-bondong masuk Islam pada peristiwa Kemerdekaan Mekkah (Fath Makkah). Sikap seperti ini diajarkan dalam surat Ali Imran ayat 159:
3)   Tidak mundur dari barisan;
Mundur dari barisan perang merupakan sifat pengecut. Islam mengecam sikap ini melalui surat al-Baqarah ayat 246:

Larangan mundur dalam berperang juga tersirat dalam surat al-Anfal ayat 15 dan 16 yang menjelaskan bahwa prajurit yang mundur dari perang dianggap zalim dan diancam dengan neraka:

Sebaliknya, prajurit yang istiqamah, teguh, dan setia dalam barisan perang dinilai oleh Islam sebagai pejuang yang patut diberi imbalan surga, sebagimana dijelaskan dalam surat Fushshilat ayat 30:

Dalam Islam, haram mundur dari barisan perang kecuali dengan salah satu dari dua alasan berikut ini:
a)    Mundur dengan maksud mengambil tempat kedudukan yang lebih baik bagi taktik perang; Misalnya mundur karena ingin bersembunyi agar dapat dengan tiba-tiba menyerang musuh, atau mundur untuk memancing musuh agar masuk ke dalam daerah yang merupakan perangkap bagi musuh.
b)   Mundur dengan maksud menyatukan diri dengan pasukan yang lain supaya dapat memberikan informasi, bantuan, atau menambah kekuatan.
 
C.  Simpulan dan Penutup
Demikian karya tulis singkat ini ditulis dengan segala kesungguhan. Semoga bisa menjadi salah satu alternatif jawaban atas berbagai persoalan mengenai kajian perang dalam Kitab Kuning Pesantren. Semoga bermanfa’at.***

والله أعلم بالصواب


----------



Daftar Pustaka

Abdul Aziz, Zainab, Taysir Matan Abu Syuja’, Kairo: Dar al-Aman, 2000.
al-Alusi,  Tafsir Ruh al-Ma’ani.
al-Anshari, Syeikh al-Islam Zakariya, Tuhfah at-Thullab bi Syarh Tahrir Tanqih al-Lubab.
al-Baidlawi, Tafsir al-Baidlawi .
al-Farran,Ahmad Mushthafa, Tafsir as-Syafi’i, Khurthum: Dar at-Tadmiriyyah, 2004.
al-Gazzy, Muhammad ibn Qasim, Syarh Fath al-Qarib al-Mujib li as-Saikh al-‘Allamah Ahmad ibn al-Husain as-Syahir bi Abi Syuja Surabaya: al-Hidayah, t.th..
al-Ghazali, Abu Hamid, Hujjah al-Islâm, Ihya` 'Ulum ad-Din, Beirurt: Dar al-Fikr, t.th., juz II dan III.
Ali Ma'shum, as-Sykeh al-'Allamah, K.H., al-Jukjawi, Hujjah Ahl as-Sunnah wa al-Jama'ah,  Pekalongan: ibn Masyhadi, 1403 H./ 1983 M..
al-Jawi, Muhammad Nawawi, Marah Labid Tafsir an-Nawawi / Tafsir al-Munir,  Surabaya: al-Hidayah, t.th.
al-Jawi, Syekh Nawawi,  Tawsyih ‘ala ibn Qasim.
al-Jawziyah, ibn Qayyim, Fatawa Rasul Allâh, Jakarta: Dinamika Berkah, t.th.
as-Suyuthi, Jalaluddin dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir al-Jalalayn , Bandung: al-Ma'arif, t.th.
as-Suyuthi, Abu Bakar, al-Imam, Tafsir ad-Durr al-Mantsur, Beirut: Dar al-Fikr, 1993.
Azra, Azyumardi, etc., Ensiklopedi Islam, Jakarta: Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millennium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002, Cet ke-IV.
Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1995, Cet. Ke-1.
Dahlan, Abdul Aziz, et.al., Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, Cet ke-8.
Daulay, Haydar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.
Dhofier, Zamakhsyari, Dr., Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1999), cet. VI.
Ghanim, Abdul Aziz, Dr., Muhammad Bayn al-Harb wa as-Salam (Perang dan Damai di Masa Pemerintahan Rasulullah), terj. Salim Basyarahil, Jakarta: Gema Insani Press, 1991.
ibn ‘Abdullâh, Muhammad ibn Yasin, Faidl al-Bari: Mukhtashar Syarh Shahih al-Bukhari li al-Imam an-Nawawi, Makkah: al-Maktabah al-Bukhariyyah, 1407 H./ 1987 M.
Ishamuddin (ed.), Irsyad al-Sari Kumpulan Karya K.H. Hasyim Asy'ari, Jombang: Tebu Ireng, 2007.
Madjid, Nurcholish, etc., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2008.
Masyhuri, A. Aziz, K.H., Masalah-Masalah Keagamaan NU, Surabaya: RMI & Dinamika Press, 1977.
Moestopo, M.Habib, Kebudayaan Islam di Jawa Timur: kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralihan, Yogyakarta: Jendela, 2001.
Shihab, M. Quraish, Prof. Dr., M.A., Tafsir al-Mishbah, Tangerang: Lentera Hati, 2010.
Steenbrink, Karel, Lawan dalam Pertikaian, Kaum  Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), Bandung: Mizan, 1995.
Sutjiatiningsih, Sri & Slamet Kutoyo, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Timur, (Surabaya: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudyaan Daerah, 1986).
Yasmadi, Drs., M.A., Modernisasi Pesantren, Jakarta: Ciputat Press, 2002.



---------
 
 
Daftar Riwayat Penulis

Nama                     : Mawarda Alistinafia Ningtyas
Status                     : Santri Pondok Pesantren Yanabi’ul ‘Ulum war Rahmah (PPYUR) Kudus
Kelas                      : XI (II)  Program Unggulan MA NU Banat Kudus
Alamat Madrasah  : Jl. K.H.M. Arwani Amin, Krandon – Kudus
Telp./ Faks             : 0291- 443143,      Fax : 0291-3316150
e-mail                     :  mawar_banat@yahoo.co.id  
Organisasi              : IPPNU, OSIS, Pramuka, KIR