MEMBANGUN KEILMUAN ISLAM MULTIDISIPLINER[1]
Prof.
Dr. H. Nur Syam, M.Si.[2]
Pendahuluan
Jika kita akan membangun keilmuan
Islam di perguruan tinggi, maka yang mesti dicermati terlebih dahulu adalah
apakah yang sesungguhnya akan kita capai dalam rangka membangun institusi
pendidikan tinggi ini. Pertanyaan ini penting mengingat bahwa jika kita tidak
memiliki visi dan misi pengembangan keilmuan yang akan dijadikan sebagai
rujukan akhir, maka yang kita lakukan bisa sia-sia. Ibaratnya sebuah perjalanan
tanpa arah atau perahu tanpa kemudi. Maka, menentukan visi pendidikan tinggi
Islam menjadi mutlak diperlukan.
IAIN Sunan Ampel telah menentukan
visi dan misinya sebagaimana di dalam rumusan statuta ialah sebagai institusi
yang diharapkan menjadi pusat pengembangan ilmu keislaman multidisipliner. Dari
visi ini kemudian dibreakdown dalam beberapa misi, yaitu sebagai pusat
pengembangan ilmu keislaman multidisipliner, sebagai pusat penelitian ilmu
keislaman multidisipliner dan sebagai pusat pengembangan masyarakat yang islami,
cerdas dan kompetitif.
Menilik terhadap visi dan misi IAIN
Sunan Ampel, maka pantaslah kalau seluruh civitas akademika IAIN Sunan Ampel
akan terus berjuang untuk mewujudkan cita-cita sebagai pusat pengembangan
keilmuan keislaman multidisipliner yang menjadi tujuan tersebut. Di dalam hal
ini maka sudah selayaknya jika segenap kemampuan, keahlian, tenaga dan pikiran
diarahkan untuk mencapai tujuan tanpa akhir bagi terwujudnya gagasan besar
dalam pengembangan keilmuan. Memang harus terdapat varian-varian dalam
pengembangan keilmuan dimaksud.
Masing-masing institusi pendidikan
tinggi Islam boleh menyebut pola pengembangan yang bervariasi, misalnya UIN
Sunan Kalijaga yang mengembangkan konsep pendekatan interdisipliner melalui
interkoneksi dan interrelasi. Kemudian UIN Syekh Maulana Malik Ibrahim Malang
dengan pendekatan interdisipliner melalui konsep pohon ilmu,[3]
[2] demikian
pula UIN Alauddin Makasar dengan pendekatan interdisipliner melalui konsep
sinergi keilmuan[4] dan
UIN Syarif Hidayatullah mengembangkan integrasi ilmu.[5]
Meskipun konsep atau labelnya
bervariasi, akan tetapi sesungguhnya ada muatan atau core yang sama
dalam memandang relasi antara ilmu alam, ilmu sosial dan culture/humanities,
yaitu keinginan untuk membangun kesalingmenyapaan antara ketiga bidang ilmu
tersebut melalui proses sinergi, interkoneksi atau interelasi. Apapun konsep
atau labeling yang digunakan namun sesungguhnya ada kerinduan akan terwujudnya
disiplin keilmuan yag nantinya akan saling menyapa dan mendekati, sehingga
klaim tentang keterpilahan secara tegas antara ilmu agama dan umum atau antara
ketiga pembidangan tersebut bukan barang mustahil sekarang dan lebih-lebih di
masa yang akan datang.
Pembidangan Ilmu: kerja besar yang
belum tuntas
Usaha untuk melakukan pembidangan
ilmu-ilmu keislaman telah terjadi dalam rentang waktu yang panjang. Semenjak
LIPI melakukan pembidangan ilmu-ilmu Keislaman, maka usaha untuk melakukan
pembidangan ilmu telah dilakukan berulang kali. Namun demikian, hingga sekarang
pembidangan itu belumlah tuntas. Makanya, diperlukan forum yang representatif
untuk membahas pembidangan ilmu dimaksud dengan harapan akan bisa diperoleh
pembidangan yang memiliki basis dasar yang kuat, sehingga eksistensi
pembidangan itu akan memiliki pengakuan dari kaum akademis dan intelektual.
Kebutuhan melakukan pembidangan ilmu
tentunya terkait dengan fungsi pembidangan keilmuan tersebut bagi para dosen
atau akademisi yang akan mengembangkan tugas pengembangan keilmuan di masa
depan. Melalui pembidangan dimaksudkan akan diletakkan konsepsi dasar tentang
ilmu-ilmu yang harus dan akan dikembangkan oleh institusi pendidikan tinggi
Islam dan akademisinya ke depan.
Ada berbagai dasar dan ragam
pembidangan ilmu pengetahuan yang dijadikan sebagai patokan untuk menentukan bidang
ilmu, disiplin dan sub disiplinnya. Pembagian itu antara lain adalah;
Pertama, dari aspek fungsi ilmu, misalnya apakah ilmu
teoretis atau praktis, ilmu murni atau terapan. Pembagian ilmu berdasarkan
fungsi itu mengandung kelemahan dan menyulitkan karena basis fungsi tersebut
terkadang bercorak dualisitik, artinya di satu sisi mengandung ilmu-ilmu
teoretik di sisi lain memiliki basis praktis. Bisa jadi akan terjadi tumpang
tindih mengenai hal ini.
Kedua, pembidangan ilmu berdasarkan sasaran kajian (obyek studi, subject
matter). Melalui sasaran kajian, maka akan terdapat kejelasan tentang ilmu
apa masuk dalam bidang apa. Sehingga, setiap ilmu yang memiliki obyek
materia yang sama akan dapat dikelompokkan dalam satu bidang yang sama. Seperti
yang kita ketahui bahwa perbedaan antara satu ilmu dengan lainnya selalu
dilihat dari obyek forma ilmu yang bersangkutan. Ilmu-ilmu alam misalnya
memiliki obyek materia yang berupa gejala-gejala alam yang ajeg dan bercorak
nomotetis, ilmu-ilmu sosial memiliki obyek materia gejala kemasyarakatan dan
ideografis, sedangkan ilmu budaya dan humaniora memiliki obyek materia
gejala-gejala kemanusiaan. Dari obyek kajian tersebut, kemudian memunculkan
berbagai disiplin karena adanya obyek forma yang berbeda.
Ketiga, melalui pendekatan, yaitu upaya untuk memadukan berbagai
disiplin keilmuan dengan memposisikan satu disiplin sebagai pendekatan dan
lainnya sebagai sasaran kajian. Melalui pendekatan, maka ilmu pengetahuan
akan berkembang dengan cepat karena dimungkinkan tumbuhnya disiplin-disiplin
baru yang merupakan gabungan antara dua ilmu pengetahuan. Inilah yang disebut
sebagai inter-disciplinarity (antar bidang) dan cross-disciplinarity
(lintas bidang) atau yang secara umum disebut sebagai multi-disciplinarity
(multi-disiplin). Maka di dalam perkembangan ilmu kemudian muncul sosiologi
agama (perpaduan antara sosiologi dalam bidang social science dan agama
dalam bidang culture and humanity) yang selanjutnya disebut sebagai cross-disciplinarity.
Demikian pula antropologi agama, psikhologi agama, filsafat sosial,
filsafat hukum, sejarah sosial dan sebagainya. Di sisi lain, misalnya sosiologi
politik adalah inter-dicipliner karena merupakan penggabungan sosiologi sebagai
bagian dari bidang social science dan politik yang juga bagian dari social
science. Demikian pula, misalnya sosiologi hukum, antropologi politik,
psikhologi sosial dan sebagainya.
Pengkajian terhadap agama
sesungguhnya sudah memperoleh tempat yang sangat lama dalam perkembangan ilmu
pengetahuan. Agama sudah menjadi pusat perhatian para ilmuwan semenjak dahulu.
Dimulai dengan usaha ilmiah yang dilakukan oleh E.B. Taylor, J.J. Frazer, R.R.
Marett hingga Karl Marx, Durkheim, Weber dan juga Bellah.[6]
Kajian tersebut tentunya tidak melihat agama sebagai doktrin akan tetapi
melihat agama di dalam kehidupan masyarakat. Taylor, Frazer disebut sebagai
ahli-ahli antropologi, sedangkan Marx, Durkheim, Weber dan Bellah adalah ahli
sosiologi. Mereka menempatkan agama sebagai subject matter kajiannya.
Dewasa ini agama sedang menuai
zamannya. Jika berdasarkan pandangan kaum positivis agama disejajarkan dengan
mitos dan diramalkan akan tenggelam ditelan oleh zaman yang memakin modern dan
positif, maka ternyata hipotesis tersebut tidak menuai kenyataan. Sekarang ini
bukan hanya kerinduan masyarakat untuk menjadi semakin beragama, yang dikenal
sebagai kebangkitan agama-agama, akan tetapi juga minat akademisi untuk
mengkaji agama dalam kaitannya dengan disiplin lain juga sedang menggejala.
Sebagai contoh tentang bagaimana memadukan antara disiplin ilmu-ilmu sosial dan
culture/humanities dengan agama sebagai sasaran kajian, di antaranya
adalah yang ditulis oleh Peter Connolly, yaitu mengkaji agama berdasarkan
pendekatan antropologis, feminis, fenomenologis, filosofis, sosiologis dan
teologis.[7]
Kecenderungan untuk melakukan dialog antara agama dengan ilmu sosial
dalam karya disertasi juga meningkat. Misalnya, Nur Syam,[8]
Ulul Albab, Muhammad Ja’far,[9]
Abdul Syakur,[10] dan
sebagainya.
Pembidangan ilmu-ilmu keislaman juga
diusahakan melalui pengkategorian apa yang menjadi sasaran kajiannya. Oleh
karena itu kemudian ditemukanlah pembidangan seperti Ilmu Al-Qur’an
yang sasaran kajiannya adalah Al-Qur’an. Ilmu Hadits yang menempatkan sasaran
kajiannya adalah Hadits-Hadits Nabi, Ilmu Akidah yang memiliki sasaran kajian
berupa dimensi-dimensi keyakinan terhadap Tuhan dan hal-hal yang terkait
dengannya, Ilmu Dakwah memiliki sasaran kajian yang terkait dengan penyebaran
ajaran Islam, Ilmu Tarbiyah memiliki sasaran kajian berupa pendidikan
Islam, Ilmu Syariah memiliki sasaran kajian berupa hukum Islam dan
implikasinya, Ekonomi Islam memiliki sasaran kajian berupa praktik ekonomi dan
implikasinya, ilmu filsafat mengkaji tentang berbagai corak dan ragam pemikiran
mendalam tentang gejala-gejala alam, sosial dan humaniora, ilmu tasawuf
mengkaji tentang dimensi mendalam (esoterik) Islam, ilmu sejarah mengkaji
tentang rentang perjalanan manusia dan masyarakat dalam kaitannya dengan agama,
sosial, budaya, politik, hukum, ekonomi dan sebagainya. Ilmu-ilmu
sosial-keislaman mengkaji tentang interaksi antara individu dan masyarakat
dalam kaitannya dengan agama, sosial, budaya, politik dan sebagainya. Ilmu
bahasa mengkaji tentang bahasa yang diekspresikan manusia dan masyarakat dalam
rentang sejarah, waktu dan lokalitasnya. Dan sains Islam yang mengkaji tentang
gejala-gejala alam dalam kaitannya dengan konsepsi-konsepsi Islam. Untuk
membedakan satu disiplin dengan lainnya adalah melalui pengalokasian obyek
forma yang masing-masing memang berbeda, misalnya sejarah peradaban Islam akan
berbeda dengan sejarah hukum Islam, sosiologi agama akan berbeda dengan
psikhologi agama, tafsir tasawuf akan berbeda dengan tafsir dakwah, sejarah
hadits akan berbeda dengan filsafat hadits dan seterusnya.
Yang penting tentunya adalah
pengembangan ilmu-ilmu keislaman ke depan. Hal ini diperlukan mengingat bahwa
diperlukan ragam pengembangan ke depan yang bisa dijadikan sebagai wahana pengembangan
keilmuan secara substansial di satu sisi dan juga pengembangan istitusional di
sisi lain. Pengembangan substansial terkait dengan pengembangan ilmu dan
kepakaran dosen atau akademisi sehingga menghasilkan variasi-variasi keilmuan
di PTAI, sedangkan secara institusional akan menjadi wahana bagi pengembangan
program studi atau sekurang-kurangnya konsentrasi studi yang dibutuhkan di masa
depan.[11]
Arah pengembangan ilmu-ilmu keislaman
ke depan diusahakan mengikuti alur sasaran kajian dan pendekatan sekaligus.
Artinya pengembangan tersebut diusahakan dengan memggunakan dua cara
pembidangan ilmu-ilmu, yaitu melihat sasaran kajian dan pendekatan. Makanya,
akan ditemui pola pengembangan yang merupakan penggabungan ilmu, yang satu
dijadikan sebagai sasaran kajian dan lainnya sebagai pendekatan. Misalnya,
tafsir Al-Qur’an dan hermeneutika, maka yang dikaji adalah tafsir al-Qur’an
tetapi menggunakan pendekatan hermeneutika. Demikian pula tafsir Al-Qur’an dan
fenomenologi, maka yang dikaji adalah ilmu tafsir tetapi menggunakan pendekatan
fenomenologi. Tafsir Al-Qur’an dan strukturalisme, maka yang dikaji adalah
tafsir Al-Qur’an tetapi menggunakan pendekatan strukturalisme. Demikian pula ilmu
hadits ketika dipertemukan dengan pendekatan lainnya maka akan memunculkan
syarah hadits dan budaya lokal, syarah hadits dan fenomenologi dan seterusnya.
Ilmu tarbiyah yang ditemukan dengan sosiologi maka akan muncul sosiologi
pendidikan Islam, teknologi pendidikan Islam, politik pendidikan Islam dan
sebagainya.
Ilmu dakwah yang dipertemukan dengan
sosiologi akan memunculkan sosiologi pengembangan masyarakat Islam, studi
pembangunan dan pengembangan ekonomi kerakyatan, manajemen kelembagaan Islam,
bimbingan penyuluhan sosial dan seterusnya. Ilmu syariah ketika dipertemukan
dengan pendekatan tertentu maka akan menghasilkan pembaharuan hukum Islam,
bisnis dan manajemen Islam, hukum bisnis Islam dan sebagainya. Ilmu
tasawuf ketika dipertemukan dengan pendekatan lain maka akan didapatkan
sub-disiplin baru yaitu tarekat dan fenomenologi, tarekat dan budaya lokal,
tarekat dan modernitas dan seterusnya. Ilmu sejarah ketika bertemu dengan
pendekatan lainnya akan menghasilkan arsitektur Islam, archeologi Islam. Ilmu-ilmu
sosial keislaman yang bertemu dengan pendekatan lainnya akan memunculkan Islam
and civil religion, Islam dan budaya lokal, Islam dan politik lokal,
perbandingan politik Islam lokal. Ketika sains (ilmu-ilmu kealaman) bertemu
dengan pendekatan lain akan melahirkan Islam dan Kesehatan Jiwa.
Pembidangan ilmu, dengan demikian
tidak hanya akan menghasilkan substansi keilmuan Islam akan tetapi juga akan
menghasilkan variasi-variasi akademisi yang menjadi pengembang ilmu-ilmu
keislaman dimaksud. Jadi, melalui pembidangan ilmu akan didapatkan dua
keuntungan, yaitu variasi ilmu-ilmu keislaman dan variasi pakar ilmu keislaman.
Membangun Twin Towers: Menyejajarkan
Ilmu Agama dan Umum melalui Dialog
Posisi ilmu agama terkadang inferior
di tengah pergulatannya dengan ilmu umum. Posisi inferior itu tidak hanya di
dalam perbincangan akademik tetapi juga terdapat di dalam sikap dan tindakan
dosen dan mahasiswa. Menjadi mahasiswa atau dosen dan bahkan juga pimpinan
perguruan tinggi agama Islam (PTAI) terkadang menjadi orang nomor dua. Jika
menjadi mahasiswa, dosen dan pimpinan perguruan tinggi umum (PTU) sama dengan
menjadi orang nomor satu.
Di tengah nuansa ketidakpercayaan
diri itu, maka tentu menjadi tugas bersama untuk membangun identitas dan harga
diri sebagai mahasiswa, dosen dan pimpinan PTAI dalam kancah pergaualan dengan
lainnya. Kebanggan akan identitas itulah yang dirasakan perlu untuk
dikedepankan di tengah pergaulan dunia yang semakin demokratis, terbuka dan
kompetitif. Untuk menjadi bangga dan memiliki harga diri tentunya harus ada
sesuatu yang bisa dibanggakan dan dihargadirikan. Dan salah satunya adalah
keahlian yang mapan tentang bidang studi yang dikaji di institusi pendidikan
tinggi agama.
Integrasi, sinergi atau apapun
namanya memang sesuatu yang harus dilakukan. Kegelisahan untuk terus membangun
integrasi atau sinergi bukan hanya khas pemikiran ilmuwan Islam, namun juga
sebagaimana yang dialami oleh John F. Haught. Di dalam bukunya yang berjudul
”Perjumpaan Sains dan Agama, Dari Konflik ke Dialog” betapa digambarkan bahwa
era integrasi atau sinergi itu terus berlangsung. Beliau mencatat ada empat
fase menuju ke arah perjumpaan itu. Pertama, paradigma konflik
beranggapan bahwa sains modern memiliki relasi negatif dengan agama. Ada proses
saling menegasikan. Kedua, yang mengikuti paradigma kontras berpandangan
bahwa dua hal ini memiliki otonominya sendiri-sendiri. Ada wilayah agama dan
ada wilayah sains. Konflik bisa terjadi ketika keduanya dilakukan proses
dialog. Ketiga, yang mengikuti paradigma kontak bahwa ada otonomi agama
dna sains, namun ada dimensi atau ranah tertentu yang keduanya bisa bertemu. Keempat,
yang mengikuti paradigma konfirmasi menyatakan bahwa antara ilmu dan agama bisa
saling mengisi. Ada riset yang dibangun di atas keyakinan agama dan sebaliknya
keyakinan agama juga bisa dikembangkan karena produk sains.[12]
Mencermati terhadap realitas
pergerakan relasi agama dan sains ini, maka sesungguhnya menarik untuk
diperbincangkan adalah bagaimana membangun relasi antara sains (ilmu kealaman
dan ilmu sosial) dengan agama. Di antara jawaban itu adalah melalui pendekatan
(approach) yang mempertemukan suatu disiplin dengan agama di sisi
lainnya. Dan sebagaimana telah diungkapkan dimuka bahwa suatu disiplin akan
menjadi pendekatan dan lainnya menjadi obyek kajian (subject matter).[13]
Konsep menara kembar di dalam
konsepsi pengembangan ilmu keislaman multidisipliner yang dimaksudkan adalah
membangun struktur keilmuan yang mana antara Ilmu keagamaan dan ilmu
sosial/humaniora serta ilmu alam berkembang secara memadai dan wajar. Keduanya
memiliki kewibawaan yang sama, sehingga antara satu dengan lainnya tidak saling
merasa superior atau inferior. Ilmu keislaman berkembang dalam kapasitas dan
kemungkinan perkembangannya, demikian pula ilmu lainnya juga berkembang
dalam rentangan dan kapasitasnya. Ilmu keislaman laksana sebuah menara yang
satu dan ilmu lainnya seperti menara satunya lagi. Keduanya bertemu dalam
puncak yang saling menyapa, yang dikenal dengan konsep ilmu keislaman
multidisipliner. Menara yang satu menjadi subject matter dan lainnya
sebagai pendekatan.
Jika dirumuskan secara naratif, maka
gambarannya ialah sebagai berikut:
Fondasi keilmuannya ialah Al-Qur’an
dan hadits, kemudian menaranya terdiri dari ilmu keislaman murni dan terapan
(tafsir, hadits, Ilmu Fiqh, Ilmu Kalam, Tasawuf, ilmu dakwah, ilmu
tarbiyah dan sebagainya), kemudian menara lainnya adalah ilmu alam, ilmu sosial
dan humaniora (ilmu kimia, fisika, sosiologi, antropologi, politik, psikhologi,
sejarah, filsafat dan sebagainya) dan kemudian dipuncaknya terdapat lengkung
yang menghubungkan antara menara satu dengan lainnya yaitu pertautan antara dua
disiplin keilmuan, sehingga terdapat sosiologi agama, filsafat agama,
antropologi agama, ekonomi Islam, politik Islam, dan sebagainya.
Bangunan struktur keilmuan tersebut
harus diletakkan di atas fondasi Al-Qur’an dan Al-Hadits sebab yang akan
dibangun pada akhirnya adalah ilmu sosial profetik, ilmu alam profetik, serta
culture dan humaniora profetik. Mengikuti pandangan kaum ilmuwan yang
mengembangkan ilmu-ilmu yang trans-teoretik, yaitu teori yang tidak hanya
digunakan utuk teori tetapi teori untuk kemungkinan pengembangan masyarakat.
Dengan demikian, setiap teori yang dihasilkan oleh ilmuwan Islam hakikatnya
adalah bertujuan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat setarap lebih baik.
Untuk mengembangkan keilmuan yang
integratif dalam coraknya yang twin towers tersebut maka bagi Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) –khususnya IAIN Sunan Ampel– harus melakukan
restrukturisasi kelembagaan pada level fakultas. Sesungguhnya bukan perubahan
struktur yang mendasar, tetapi terkait dengan nomenklatur fakultas yang selama
ini dikenal, yaitu Fakultas Adab, Fakultas Dakwah, Fakultas Syariah, Fakultas
Tarbiyah dan Fakultas Ushuluddin. Maka, yang harus dipertimbangkan adalah
memberikan wadah bagi pengembangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora dalam wadah
yang jelas, yaitu Fakultas Ada dan Humaniora, Fakultas Dakwah dan Ilmu Sosial,
Fakultas Syariah dan Hukum, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan dan Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat.
Melalui perubahan ini, maka wider
mandate yang sudah menjadi bagian integral dalam pengembangan ilmu-ilmu
keislaman multidisipliner akan menjadi semakin jelas sosoknya. Kita memang
harus melihat realitas empiris di dalam mengembangkan keilmuan dan juga wadah
pengembangannya.
Kesimpulan
Memang harus ada usaha yang serius
dan terus menerus untuk melakukan pengembangan keilmuan Islam multidisipliner
ini searah dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Namun demikian pengembangan
ilmu keislaman murni dan terapan juga tidak boleh dilupakan. Demikian pula
pengembangan ilmu alam, ilmu sosial dan humaniora. Jika ini bisa dilakukan maka
kelak di kemudian hari maka pengembangan ilmu keislaman yang memiliki
kewibawaan akan terjadi.
Di dalam kerangka ini, maka seluruh
energi baik dana, tenaga dan pikiran harus dicurahkan secara mendasar untuk
melakukan kajian, riset dan diskusi di dalam kerangka pengembangan ilmu
keislaman dan juga institusinya yang berwibawa dan berdaya guna.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Diketik
ulang oleh Mahlail Syakur Sf.
(Asisten Direktur Program Pascasarjana
Universitas
Wahid Hasyim Semarang)
18 Mei
2013 M./ 8 Rajab 1434 H.
[1]
Makalah Kuliah Umum disampaikan di Universitas Wahid Hasyim Semarang, Sabtu
Pahing, 8 Rajab 1434 H./ 18 Mei 2013.
[2] Pemakalah adalah Guru Besar
Sosiologi dan Rektor IAIN Sunan Ampel. Menyelesaikan S1 pada Fakultas Fakultas
Dakwah IAIN Sunan Ampel, S2 dan S3 Ilmu Sosial Universitas Airlangga.
[3]
Imam Suprayogo, Sangkar Ilmu, (Malang: UIN Malang
Press, 2003)
[4]Oleh
Azhar Arsyad, model sinergi Sains dan Agama terseut digambarkan sebagai Sel
Cemara, integrasi dan interkoneksi Sains dan Agama. Pandangan tersebut mirip
dengan pohon ilmu yang telah dikembangkan oleh UIN Malang tentang pengembangan
relasi ilmu dan agama. Periksa Nurman Said, dkk., Sinergi Agama dan Sains,
Ikhitiar Membangun Pusat Peradaban Islam, (Makasar: Alauddin Press, 2005).
[5] Dalam pandangan Mulyadhi
Kartanegara, bahwa dikhotomi Ilmu agama dan Ilmu non agama yang terus
berkembang higga kini, sesungguhnya dipengaruhi oleh pandangan barat yang
positivistik. Padahal dalam pandangan keilmuan Islam, bahwa fenomena-fenomena
alam yang menjadi obyek ilmu umum ternyata terdapat relasi dengan kuasa Tuhan,
sehingga relasi diantara keduanya bukan sesuatu yang tanpa dasar. Periksa
penjelasan lebih lanjut dalam Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, Sebuah
Rekonstruksi Holistik, (Jakarta: Arasy Mizan dan UIN Jakarta Press,
2005).
[7]
Periksa Peter Connolly, Ed., Aneka Pendekatan Studi Agama (Jogyakarta:
LKiS, 2009).
[8] Nur Syam, Islam Pesisir, (Jogyakarta:
LKiS, 2006). Buku ini semula adalah disertasi yang diselesaikan di Universitas
Airlangga. Tulisan ini mengkaji masyarakat Islam pesisir dengan perspektif
sosiologi budaya. Kemudian tulisan Ulul Albab, “Islam Sebagai Landasan
Pemikiran dalam Menciptakan Pemerintahan yang Anti Korupsi”, Universitas
Brawijaya, Malang, 2009. Disertasi belum diterbitkan.
[9]
Muhammad Ja’far, Anatomi Perilaku Bisnis, Dialektika
Etika dengan Realitas (Malang, UIN Press, 2009)
[10] Abdul Syakur, ”Gerakan Tarekat
Shiddiqiyah Pusat Losari Ploso Jombang: Studi tentang Stratergi Bertahan,
Struktur Mobilisasi dan Proses Pembingkaian”, Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Jogyakarta, 2009, Disertasi belum diterbitkan.
[11]
Di IAIN Sunan Ampel terdapat gagasan agar terdapat perubahan
nomenklatur Fakultas. Jika selama ini dikenal nama Fakultas itu adalah Fakultas
Adab, Dakwah, Syariah, Ushuluddin dan Tarbiyah maka ke depan bisa diubah
menjadi Fakultas Adab dan Humaniora, Dakwah dan Ilmu Sosial, Syariah dan Ilmu
Hukum, Ushuluddin dan Filsafat dan Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.
[12]
Periksa John F. Haught, Perjumpaan Sain dan Agama, Dari
Konflik ke Dialog, (Jakarta; Mizan dan ICAS, 2004). Pengantar yang sangat
bagus tentang buku ini diberikan oleh Mohsen Miri, Rektor ICAS, Jakarta.
[13]
Noeng Muhajir membagi realitas dalam kaitannya dengan
kebenaran dan pendekatan, maka terdapat jenis realitas yaitu realitas
empiris sensual (dapat diamati melalui pengindraan), realitas empiris rasional
(dapat dilogikabenarkan), realitas empiris etis (dapat dibenarkan mealui etika)
dan realitas empiris transendental (dapat dibenarkan karena ada dimensi
trandental yang mendasari kenyataan tersebut). Eeriksa Noeng Muhajir, Metodologi
Penelitian Kualitatif, (Jogyakarta: Rake Sarasin, 1991).