RIWAYAT SINGKAT
MBAH ABDUL
QAHAR
oleh H. Mahlail Syakur Sf.
(Ketua Komunitas Bani Abdul Qahar)
Asal-Usul
mBah Abdul Qahar
Mbah
K.H. ABDUL QAHAR adalah salah satu putera dari mBah Yahya asli Mutih Kulon Kecamatan Wedung
Kabupaten Demak Jawa Tengah, sedangkan ibunya berasal dari desa Karangaji, Kecamatan Kedung, Kabupaten
Jepara. Sejak menikah mBah Yahya menetap
di Karangaji Jepara dan menjadi Lurah (Kepala Desa) di sana.
Masa kecil mbah Qahar (panggilan mBah K.H. Abdul
Qahar) dilalui dengan penuh sahaja di lingkungan keluarga petani hingga beliau
dewasa belajar di Pondok Wetan Banon, Salafiyah
(dulu: Taman Pendidikan Tamrinul Huda). Pesantren yang didirikan pada tanggal
12 Mei 1902 ini diasuh oleh mBah K.H. Sirodj putera K.H. Ishaq. Menurut sebagian informasi, K.H. Sirodj adalah
salah seorang santri mBah K.H. A. Mutamakkin Kajen. Menurut informasi lainnya,
bahkan beliau adalah ulama besar dan ilmuan ternama sebagai cucu ke-7/ keturunan
mBah K.H. Ahmad Mutamakkin.
Mbah Sirodj pada masanya termasuk salah seorang
pelopor berdirinya Nahdlatul Ummah, yaitu semacam majelis para ‘ulama untuk
wilayah Jawa Tengah. Sedangkan salah satu santrinya, yaitu mBah Bisyri Sansuri
(saudara ipar dari mBah Wahab Jombang) mendapatkan mandat untuk melanjutkan
organisasi tersebut. Bahkan bersama mBah K.H. Hasyim Asy’ari organisasi ini
mengalami perkembangan yang maju pesat dan beralih nama menjadi Nahdlatul Ulama
(NU) yang mempunyai jangkauan sangat luas untuk kalangan ulama di Indonesia.
Embrio
Pondok Kajen Wetan Banon merupakan bentuk kepedulian K.H. Sirodj untuk
meneruskan perjuangan Syekh Mutamakkin dalam menegakkan kebenaran agama Allâh.
Pada masanya, karena beliau sebelumnya seorang saudagar kaya raya, maka sangat mudah
untuk mendirikan beberapa pondokan dan satu musholla. Musholla di depan
rumahnya (kini ditempati oleh keluarga mBah Masrukhin) merupakan tempat pada
mana masyarakat menimba ilmu dari beliau. Tempatnya yang pinggir jalan persis membuat
orang mudah mengenalnya, ditambah dengan bangunan besar dari kayu di seberang
jalan, K.H. Sirodj memulai pengajian-pengajian tentang keagamaan dan
kemasyarakatan.
Pondok
Wetan Banon ini dipegang oleh K.H. Sirodj selama 26 tahun dalam kondisi
ketegangan politik oleh kolonial Belanda. Sepeninggal K.H. Sirodj (wafat pada
tahun 1928 M./ 1347 H.) Pondok Wetan Banon diasuh oleh kedua puteranya, yaitu K.H.
Baedlowie dan K.H. Hambali.
Tepatnya
pada tanggal 1 Januari 1935 barulah duet kepemimpinan tersebut membuka madrasah
yang dinamakan “Madrasah Salafiyah”. Menurut riwayat lain, Pondok
tersebut kemudian diberi nama “Madrasah Salafiyyah” secara resmi oleh K.H. Baedlowie
Sirodj pada tanggal 1 januari 1933.
Madrasah
Salafiyah ini dibangun di samping rumah dan Pondok Wetan Banon bagian timur
yang kebetulan K.H. Sirodj memberikan tanah itu untuk dikelola oleh K.H
Baedlowie. Namun sejak masa pendudukan fasis militer Jepang (1942) madrasah ini
ditutup sementara. Setelah situasi tanah air mengijinkan pada tahun 1945
madrasah Salafiyah Kajen dibuka kembali di bawah asuhan K.H. Baedlowie dibantu K.H.
Hamzawie dan angkatan mudanya. Pada tanggal 2 Pebruari 1981, Pondok Salafiyah
dijadikan Yayasan yang diberi nama “Yayasan Assalafiyah” yang berkedudukan
tetap di RT 01/ RW I Kajen Timur, kecamatan Margoyoso, kabupaten Pati, Jawa
Tengah.. Untuk pertama kalinya, Yayasan ini diketuai oleh mBah K.H. Faqihuddin yang juga
menjadi pengasuh Pondok Salafiyah karena mBah K.H. Baedlowi mendahului mereka
dipanggil oleh Allâh (pada waktu shubuh, hari Jumâ’at Pahing, tanggal 3 Ramadlan
1402 H./ 25 Juni 1982) sebelum memimpin yayasan tersebut. Sementara itu jabatan
sekertaris dipercayakan kepada saudara sepupunya, K. Muhammad Masrukhin dan
dibantu oleh saudara-saudara yang lain, baik dari keturunan mBah K.H. Abdul Qahar
seperti mBah K.H. Baidlowie maupun Nyai. Hj. Fathmah.
Perjalanan dan kehidupan mbah Qahar selama
mengenyam pendidikan di Pondok Wetan Banon dilaluinya dengan penuh ketekunan (riyadlah,
ijtihad, dan ishthibar), hingga beliau diambil menantu
oleh mBah Sirodj yang dinikahkan dengan puteri pertamanya bernama Halimah.
Dalam kurun waktu kurang lebih enam tahun
mBah K.H. Abdul Qahar muqim di Makkah. Teman seperjuangan beliau di antaranya
adalah mBah Syafa’ (Kaliwungu Kendal). Selain mempelajari ilmu Syari’at Islam
beliau juga menjadi badal (pengganti, asisten) Syekh Mukhtar (asli Gresik)
sebagai Panitia Penyelenggara Haji. Pada masa itu beliau mengajak turut serta
mBah Sirodj (morotuo), Mbah Jah (red: Khadijah), mBah Halimah, dan mBah
Abdul Bari. Menurut keterangan mBah Rukhin, ketika muqim di Makkah mBah Halimah
melahirkan seorang putera namun sesaat setelah dilahirkan beliau meninggal yang
diberi nama Ahmad.
Sebagai salah satu menantu dari mBah
Sirodj, mBah Qahar juga aktif membimbing santri di pondok Salafiyah, selain
mBah Baidlowi dan mBah Hambali. Beliau dikenang
sebagai seorang yang disiplin dan adil. Selain mengajar di pondok mBah K. Qahar
juga mempunyai usaha dagang kayu jati. Setelah mbah Sirodj meninggal dunia mBah
Jah tinggal bersama dengan mBah Khozin putra mBah Fatmah,
Hidup di zaman penjajahan Jepang, meskipun
seorang wanita, tidak membuat mBah Halimah isteri mBah Qahar merasa takut untuk
melawan ke-mungkaran. Selain itu, beliau juga sangat memahami setiap perbedaan
karakter di antara putra-putrinya. Beliau aktif dalam mengajarkan membaca
al-Qur`an (qira`ah al-Qur`ân) dan dikenal sebagai ahli riyadlah
(Jawa: tirakat), bahkan diyakini beliau mempunyai keistimewaan yaitu piawai
dalam pengobatan alternatif seperti menyapih bayi atau merencanakan kehamilan
secara alami.
Estafeta
Pengabdian dalam Perjuangannya
Usaha dan peranan mBah K.H. Abdul Qahar
dalam membangun negara dan bangsa melalui dunia pendidikan dan pengajaran cukup
baik dan berarti. Perjuangan mBah K.H. Abdul Qahar dalam menyebarkan ajaran
(syari’ah) Islam melalui lembaga pendidikan tidak berhenti begitu saja ketika
beliau wafat, karena estafeta perjuangannya masih dan terus dilanjutkan oleh
putera-puterinya.
Secara kolektif dan estafet perjuangan
beliau tetap berjalan hingga kini, yang dapat dilihat dalam kiprah para
puteranya sebagai berikut.
1. Mbah
Abdul Bari
Sebagai
putera pertama mbah Abdul Qahar, mBah K. Abdul Bari dikenal sebagai figur tokoh
yang mempunyai sifat yang santai dalam menjalani hidupnya, bahkan dikenal
sangat sabar dalam menerima berbagai ujian dan cobaan. Di masa
kecilnya (kira-kira umur 4 tahun) sudah diajak mengikuti kegiatan ibadah haji
bersama dengan mBah Qahar dan mBah Halimah. Sedangkan adik lelakinya (nama
Ahmad) meninggal dunia di Mekkah sesaat setelah dilahirkan. Dengan demikian mBah
K. Abdul Bari mempunyai dua adik, yaitu Ahmad yang meninggal di Mekkah setelah
dilahirkan beberapa saat kemudian, dan mBah Shalihah yang meninggal dunia setelah
melahirkan anak pertama bernama Nur Hamid.
Pada masa
sekolah mBah K. Abdul Bari dikenal sering kurang memperhatikan pelajaran di
sekolahnya, bahkan terkadang tertidur di ruang kelas. Meski demikian, di saat
beliau dalam keadaan tidur pembelajaran di perolehnya dari tugasnya sebagai badal
(asisten) mBah Sirodj, bahkan beliau dikenal sebagai figur kyai yang
mendapatkan ilmu laduni[7], mampu
membaca teks Arab (Kitab Kuning) dan memahaminya tanpa diketahui kapan dan
kepada siapa beliau mempelajarinya.
Beliau
menikah dengan mbah Sudarni dari Ngembalrejo Kudus, hingga beliau menetap dan
mendirikan Pondok Pesantren Darus Sa’adah di desa tersebut sebagai media untuk
mengajarkan syari’ah Islam pada masyarakat di daerah sekitar sekaligus sebagai
cara melanjutkan estafeta perjuangan mBah K.H. Abdul Qahar pada pengembangan
pendidikan. mBah Abdul Bari wafat pada hari Ahad Legi, tanggal 15 Rajab 1423 H.
2. Mbah
Hadziq Sirodj
MBah
Hadziq Sirodj dikenal disiplin dalam menjalani keseharian. Alumni IAIN
(sekarang: STAIN) Kudus ini juga mondok di mbah Hambali Jekulo. Beliau menikah
dengan mbah Hamdah Marfu’ah dari Tayu. Dengan berbekal keaktifan beliau di
organisasi NU dan partai (PPP) sehingga mengantarkan beliau menjadi anggota
dewan untuk daerah Kabupaten Pati meskipun hanya satu periode. Beliau juga
berperan sebagai Kepala Sekolah di Madrasah Salafiyah di masa awal pendirian
hingga beberapa periode.
3. Mbah
Masrukhin
Mbah
Masrukhin di masa mudanya pernah mondok di Joso Kediri, Lirboyo Kediri,
Kaliwungu Kendal, bahkan Jekulo (kepada mBah Hambali). Secara praktis beliau
mengabdikan diri pada masyarakat, di antaranya pernah tinggal di beberapa
daerah dengan mempelopori pendirian madrasah, seperti di Kemangsen Krian dan
Ambulu Jember.
Beliau
menikah dengan mBah Nok Dzurriyyah (Tayu) yang merupakan santri dari pondok
Salafiyah. Selain aktif sebagai pengajar, mBah Rukhin juga termasuk salah satu
pelopor pendirian Yayasan As-Salafiyah bersama dengan mBah Baidlowi dan mBah
Hadziq Sirodj.
4. Mbah
Mas’amah
Mbah
Mas’amah, puteri mbah Qahar yang alumni SMI (Sekolah Menengah Islam, kemudian
berubah nama menjadi PGIP) ini termasuk perintis Madrasah Banat Mathali’ul
Falah bersama mbah Zuyyinah (istri mbah Ali Mukhtar). Mbah Amah menikah dengan
mbah Suyuthi (dari Demak) yang seorang penulis kitab-kitab kuning yang ditulis
oleh para kyai. Salah satu kitab yang ditulis khathnya adalah Tafsir al-Ibriz
karya mBah Kyai Bisyri Musthofa Rembang.
5. Mbah
Muzammil
Mbah
Muzammil, putra bungsu dari mbah Qahar ini menikah dengan mbah Mustabsyiroh
asli (Karangaji). Belaiu menimba ilmu di Denanyar Jombang (pesantren Gus Dur)
dan secara formal belajar di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Sebelum tinggal dan
mengajar di Kajen beliau tinggal di Karangaji Jepara sehingga pengabdian beliau
juga terukir di wilayah Jepara tersebut.
والله أعلم بالصواب